Empat Ilmuwan Raih Habibie Award
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Profesor dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ), dua ilmuwan Institut Teknologi Bandung (ITB), dan penemu tujuh produk farmasi, meraih Habibie Award ke-18 dari Yayasan Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
"Program ini sudah berlangsung sejak 1999, dan telah memberikan Habibie Award kepada 55 orang, dan beasiswa S3 kepada 97 orang. Mereka terpilih dalam proses seleksi oleh panitia seleksi yang dibentuk secara independen," kata Ketua Pengurus Yayasan SDM Iptek, Wardiman Djojonegoro, dalam Penganugerahan Habibie Award Periode XVIII, Jakarta, Rabu (5/10).
Dan kali ini, ia mengatakan Habibie Award yang memang dianugerahkan kepada perseorangan atau badan yang dinilai aktif dan berjasa besar dalam menemukan, mengembangkan dan menyebarluaskan berbagai kegiatan iptek yang baru (inovatif) ini diberikan kepada Prof Hendra Gunawan PhD untuk bidang ilmu dasar, Raymond R Tjandrawinata PhD MS MBA untuk bidang ilmu kedokteran dan bioteknologi, Prof Ir Tommy Firman MSc PhD untuk bidang ilmu rekayasa, dan Prof Dr Sapardi Djoko Damono untuk bidang ilmu kebudayaan.
Ia berharap, dengan anugerah tersebut dapat mendorong pengembangan dan kesadaran akan teknologi, sekaligus memberi semangat para peneliti Indonesia untuk terus berkarya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta kontribusi nyata untuk bangsa.
Peraih Habibie Award
Hendra Gunawan, yang merupakan Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ITB ini merupakan inovator dalam area analisis fourier modern, yakni proses matematika yang digunakan untuk memecahkan masalah bentuk gelombang kompleks dengan menguraikan gelombang tersebut menjadi komponen sinusoidanya. Matematikawan paling produktif di Indonesia ini, konsisten dalam area Analisis Fourier modern dengan banyak publikasi pada area yang sama dan Teori Interpolasi. Bersama dengan beberapa rekan peneliti, ia berhasil mendapatkan suatu karakterisasi dari operator integral fraksional yang diperumum pada ruang Morrey.
Profesor kelahiran Bandung, 54 tahun lalu itu memiliki dua publikasi di jurnal internasional, salah satunya di Pasific Journal of Mathematics, yang memperumum ketaksamaan untuk fungsi maksimal dari ruang Euclid ke grup Liesemi-sederhana. Hingga saat ini ia telah menulis 30 makalah dalam area Analisis Fourier, 32 dalam area Analisis Fungsional, dan 14 area lainnya.
Raymond R Tjandrawinata merupakan Direktur Pengembangan Perusahaan di PT Dexa Medica. Sebagai pemenang di bidang ilmu kedokteran dan bioteknologi dia begitu dekat dalam peneliti farmasi. Pria yang pernah berkarier di NASA Center dan SmithKline Beecham Pharmaceutical, CA ini merupakan penemu tujuh produk farmasi. Dia juga memegang empat hak paten di dalam negeri, serta 16 hak paten lainnya di beberapa negara.
Dalam pidato ilmiahnya seusai menerima Habibie Award ke-18, ia mengatakan pentingnya penelitian untuk mengungkap khasiat dari sekitar 32.000 jenis tumbuhan yang ada di Indonesia demi menemukan obat-obat baru.
Tidak ada cara lain selain meningkatkan jumlah penelitian dan meningkatkan dana riset. Karena itu, dia memaparkan tentang "Penemuan Obat Baru di Indonesia dalam era Revolusi Industri Wilayah".
Tommy Firman yang merupakan Guru Besar Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB, aktif di berbagai international board member jurnal internasional terkemuka, dan telah menerima berbagai penghargaan di antaranya Ristek Award, Rockefeller Award dan Otto Kornigsberger.
Dalam pidato ilmiahnya yang bertema "Meningkatkan Efektivitas Penataan Ruang untuk Pengembangan Wilayah dan Kota di Indonesia", ia mengatakan bahwa tata ruang dan penataan ruang sebenarnya bukan tujuan akhir, melainkan sebuah alat mencapai tujuan-tujuan pembangunan yang lebih luas. Ia juga menekankan pentingnya masukan dari kepakaran dalam penyusunan Rencana Tata Ruang. Tata ruang yang ada sering kali dipandang sebagai sektor sendiri, padahal diharapkan menjadi instrumen sinkronisasi dan integrasi antarsektor di dalam ruang utuk mencapai tujuan pengembangan wilayah dan kota.
Sedangkan Sapardi Djoko Damono yang telah menerbitkan berbagai sajak sejak 1957 ini merupakan profesor di bidang sastra, di mana sajak hingga novel karyanya bahkan diterbitkan dalam sejumlah bahasa.
Dalam pidato ilmiahnya, ia menyebut sastra yang pada hakikatnya adalah teknologi, jika seseorang mengartikannya sebagai konsep tersebut sebagai cara melakukan sesuatu.
Dia juga mengatakan perkembangan teknologi telah menyebabkan munculnya berbagai wahana baru dalam upaya berkomunikasi lewat sastra. Dan perubahan mendasar antara lain diakibatkan berubahnya status dari citizen menjadi netizen. (Ant)
Editor : Sotyati
K-Popers Tolak Kenaikan PPN 12 Persen
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Ratusan penggemar K-Pop atau yang akrab disebut K-Popers ikut turun dalam...