Etnisitas dan Agama sebagai Isu Politik dalam Media Sosial
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – “Etnisitas dan agama merupakan hal yang penting dalam menganalisis perilaku politik Indonesia mengingat Indonesia merupakan negara yang multi etnis dan multi agama.” Pernyataan ini diungkapkan Nina Widyati, peneliti PMB, penulis Etnisitas dan Agama sebagai Isu Politik dalam Pemilihan Presiden di Media Sosial dalam diskusi di LIPI, Jumat (27/6).
Sejak 1990-an, Internet berperan penting bagi perubahan-perubahan sosial, ekonomi, dan politik di seluruh dunia. Perubahan-perubahan itu berkaitan dengan kapasitas Internet untuk membuat dunia semakin terhubung. Dalam proses tersebut, barang, manusia, maupun ideologi bertukar secara bebas melewati batas-batas tradisional negara. Proses yang sama juga dialami di Indonesia, Internet menjadi medium yang digunakan oleh beragam kelompok masyarakat. Aktivisme politik, transaksi daring (dalam jaringan), sampai fundamentalisme berkembang secara bebas di ruang maya yang sama. Peningkatan aktivitas dunia maya ini membuat ruang tersebut jadi terlalu penting untuk tidak diabaikan oleh pelaku politik praktis. Penggunaan internet dalam politik ini ternyata sudah berlangsung lama dan mencapai puncaknya pada pemilihan presiden yang kita alami hari-hari ini.
Nina melanjutkan bahwa sejak pemilu 1955 sampai dengan pemilu 2009, sebagaimana rentang riset ini dilakukan, partai yang memiliki identitas etnis dan agama kurang berkembang. Sebaliknya partai yang memiliki identitas nasionalis lebih berkembang.” Hal ini ditengarai dengan adanya faktor sejarah pada awal kemerdekaan di mana Belanda berusaha memecah-belah rakyat Indonesia dengan menggunakan politik etnisitas melalui pembentukan negara boneka yang pembagiannya berdasarkan etnis. Hal ini berlawanan dengan semangat antikololialisme yang berkembang pada awal kemerdekaan.
Sementara Ahmad Fuad Fanani, Direktur Riset Maarif Institute, berpendapat, “Memang perlu diakui, dalam perjalanan sejarah politik Indonesia, sejak kemerdekaan Indonesia baru memiliki 1 presiden dari luar Jawa yaitu B.J. Habibie. Mengapa hal ini bisa terjadi, walaupun ada undang-undang yang menjamin bahwa seluruh orang Indonesia asli berhak menjadi presiden? Namun, sejarah menunjukkan bahwa sampai hari ini memang tidak mudah bagi calon presiden di luar kelompok mayoritas Jawa. Resistensi ini dapat dilihat dari kegagalan JK-Wiranto dalam upaya mereka mengadvokasi ideologi egalitarian dalam etnis maupun agama”.
Hal lain yang perlu dicatat, pemilu 2009 menunjukkan fenomena baru dalam konteks politik Indonesia dengan jamaknya penggunaan media sosial. Ketika itu, media sosial menjadi ruang baru bagi artikulasi aspirasi politik tradisional seperti etnis maupun agama. “Hari ini kita melihat peran media sosial menjadi jauh lebih signifikan, yang ditunjukkan dengan maraknya kampanye-kampanye politik dalam ruang maya tersebut. Di satu sisi fenomena Pilpres 2014 terlihat mengkhawatirkan dengan menguatnya polarisasi dukungan antar calon presiden. Hal ini ditandai dengan adanya penyebaran kampanye-kampanye hitam. Namun, di sisi lain Pilpres hari ini juga dapat dilihat sebagai pendidikan maupun evaluasi bagi demokrasi di Indonesia,” tegas Ibnu Nadzir, Peneliti PMB-LIPI.
Aktifis Sosial Media, Ulin Yusron juga sependapat dengan Ibnu Nadzir. “perkembangan praktik demokrasi hari inisangat dipengaruhi oleh perkembangan media sosial. Setidaknya ini terjadi pada beberapa kota besar di Indonesia”. Bahkan, trend yang terjadi, actor-aktor politik di Indonesua juga menyadari pentingnya penggalangan isu politik melalui media sosial. “Selain cost politiknya murah, dampaknya juga cukup mengena” terangnya.
Demikian siaran pers ini kami buat sebagai informasi kepada publik yang lebih luas. Atas partisipasi kawan-kawan jurnalis kami sampaikan terima kasih.
Editor : Bayu Probo
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...