Eutrofikasi, Penyebab Ledakan Populasi Alga Berbahaya di Peairan Teluk Ambon
SERPONG, SATUHARAPAN.COM – Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengungkapkan, bahaya ledakan populasi alga berbahaya (Harmful Blooming Algae/HABs), di ekosistem pesisir yang memiliki karakter berupa teluk seperti di Kota Ambon, karena membuat kurangnya kadar oksigen dalam air yang sering kali menyebabkan kematian massal biota laut. Peningkatan unsur ke level yang sangat tinggi dan melampau batas yang dapat diterima oleh alam disebut eutrofikasi .
“Populasi alga yang tidak kasat mata ini dapat mempengaruhi aspek: ekonomi dan kehidupan masyarakat di ekosistem khususnya Teluk Ambon,” kata Kepala Pusat Penelitian Laut Dalam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Nugroho Dwi Hananto, di acara Talkshow Indonesia Science Expo, di ICE BSD, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, pada Kamis, (24/10), yang dilansir situs lipi.go.id.
Nugroho menjelaskan, Teluk Ambon merupakan perairan semi tertutup (semi-enclosed bay) yang dicirikan antara teluk bagian dalam dan teluk luar dipisahkan oleh sebuah ambang (sill) yang sempit dan dangkal. Kondisi ini menyebabkan terhambatnya sirkulasi massa air di teluk bagian dalam.
“Retensi Teluk Ambon mencapai tujuh tahunan, menyebabkan sirkulasi massa air tidak berjalan keluar. Fenomena alam ini, akan tumbuh unsur hara berlebih dan berakibat pada ledakan pertumbuhan alga,” katanya.
Profesor riset dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Sam Wouthuyzen, menjelaskan akibat eutrofikasi menimbulkan beberapa kejadian marak alga dari jenis mikro alga berbahaya, diantaranya Pyrodinium bahamense var. compressum dan Gymnodinium bahamense, yang menyebabkan kematian pada manusia.
“Ditengarai ada dua penyebab utama eutrofikasi. Pertama, terjadi peningkatan jumlah penduduk. Kedua, pembukaan lahan yang cepat namun tidak tertata baik dan tidak ramah lingkungan,” katanya.
Peneliti Pusat Penelitian Laut Dalam LIPI, Hanung Agus Mulyadi mengatakan, kelambatan sirkulasi massa air tersebut disebabkan oleh perbedaan kedalaman penghubung yang relatif sempit dan dangkal serta kondisi pasang surut pasang surut harian ganda campuran.
“Terjadi dua kali pasang dan dua kali surut secara simultan selama 24 jam. Kondisi semacam ini berdampak terjadinya penumpukan materi di dasar perairan yang diiringi dengan peningkatan unsur hara.”
Di Ambon, rekam jejak fenomena HABs sudah tercatat setidaknya dekade 90-an. Pada bulan Juli tahun 1994 terjadi blooming alga jenis Pyrodinium bahamense var compressum, dan dilaporkan tiga orang meninggal dan puluhan orang harus dirawat secara medis setelah mengkonsumsi biota laut. Kejadian kemudian berlanjut di tahun 2012 dengan jenis yang sama.
Sementara pada tahun ini tercatat ada dua kejadian HABs di Teluk Ambon, yaitu pada bulan Januari dan akhir bulan Agustus sampai awal September.
Terjadi blooming jenis Gonyaulax dengan luasan area yang mengalami perubahan warna mencapai 88 hektar. “Waspada terhadap perubahan warna laut menjadi kemerahan, kehijauan, atau kecoklatan yang diwaspadai ledakan populasi alga,” kata Hanung.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...