Ex Menlu PNG Sebut RI Tak Pernah Minta Ekstradisi Djoko Tjandra
PORT MORESBY, SATUHARAPAN.COM - Sebuah pernyataan mengejutkan datang dari Mantan Menlu Papua Nugini (PNG), Ano Pala. Ia mengatakan dirinya tidak pernah menerima permintaan dari Indonesia untuk mengekstradisi Djoko Tjandra, buronan kasus korupsi Bank Bali yang divonis hukuman penjara dua tahun pada tahun 2009, dan melarikan diri ke PNG.
Bantahan itu ia kemukakan terkait dengan laporan Komisi Ombudsman negara itu, yang merekomendasikan agar Ano Pala diperiksa karena membuat keputusan pemberian kewarganegaraan kepada Djoko Tjandra, yang dinilai melanggar hukum dan berlawanan dengan saran dari berbagai otoritas negara itu.
"Peran Menteri adalah membuat keputusan dan bukan prosesnya. Prosesnya melalui 'mesin' departemen dan semua prosedur itu diikuti dan sebagai orang yang percaya pada sistem pemerintahan di bawah undang-undang, saya membiarkan proses itu berlangsung," kata dia, kepada radionz.co.nz
Pala mengatakan dia tidak pernah mengetahui adanya permintaan ekstradisi resmi. Ini bertentangan dengan laporan Komisi Ombudsman, yang mengatakan Indonesia telah meminta PNG mengekstradisi Tjandra untuk menjalani hukuman penjara dua tahun, tetapi permintaan itu tidak dipenuhi.
"Ada perjanjian ekstradisi antara kedua negara dan itu tidak pernah diminta, kepada saya pada saat itu dan bahkan pada hari ini, bahwa permintaan buronan belum diumumkan kepada publik maupun di dalam pemerintahan, tidak ada yang terjadi," kata Pala.
Pala, yang saat ini tidak lagi menjadi anggota parlemen, mengatakan provinsinya, Provinsi Tengah, sedang mengincar investasi proyek penanaman padi oleh Joko Tjandra.
Sebelumnya, Komisi Ombudsman PNG merekomendasikan penyelidikan terhadap Pala atas pemberian kewarganegaraan kepada Djoko Tjandra, enam tahun lalu.
Dalam laporan yang diajukan ke Parlemen, Komisi Ombudsman merekomendasikan agar mantan Menteri Luar Negeri, Ano Pala, dan mantan Kepala Kantor Imigrasi, Mataio Rabura, (telah meninggal) diselidiki atas pemberian kewarganegaraan kepada Djoko Tjandra pada tahun 2012.
Laporan itu telah diberikan kepada Ketua Parlemen, Job Pomat pekan lalu oleh Plt Kepala Komisi Ombudsman, Michael Dick dan komisioner Richard Pagen.
Sedangkan pengajuan pembahasannya dilakukan oleh Plt Ketua Parlemen, Jeffery Komal. Pembahasan akan dilakukan besok, Selasa (09/04).
Djoko Tjandra, sebelum menjadi warga negara PNG melalui proses naturalisasi, merupakan buronan atas dugaan keterlibatannya atas kasus korupsi Bank Bali.
Pada 11 Juni 2009, Majelis Hakim Peninjauan Kembali MA yang diketuai Djoko Sarwoko dengan anggota I Made Tara, Komariah E Sapardjaja, Mansyur Kertayasa, dan Artidjo Alkostar memutuskan mengabulkan PK kasus Djoko Tjandra, menjatuhkan hukuman penjara dua tahun, membayar denda Rp15 juta dan uang miliknya di Bank Bali sebesar Rp 546.166.116.369 dirampas untuk negara.
Tetapi Djoko Tjandra telah melarikan diri ke PNG dua hari sebelum vonis tersebut dijatuhkan.
Dalam laporannya, Komisi Ombudsman merekomendasikan agar Pala diselidiki atas pelanggaran aturan pemerintah sedangkan Rabura direkomendasikan diperiksa karena membantu memfasilitasi penerbitan paspor Djoko Tjandra dengan nama baru, Joe Chan.
Laporan ini juga mengungkapkan keterlibatkan mantan pejabat Kepala Migrasi, Joseph Nobetau, dan mantan direktur urusan visa, Delilah So'osane, karena menerbitkan dua surat perjalanan bisnis untuk Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) pada tahun 2009 untuk Djoko Tjandra.
Laporan komisi menemukan bahwa undang-undang dan peraturan yang mengatur pengeluaran izin masuk termasuk izin jangka panjang (izin tinggal permanen), pemberian kewarganegaraan dengan naturalisasi dan penerbitan paspor PNG, tidak dipatuhi.
Laporan itu menemukan ketidakberesan pada Otorias Keimigrasian dan Layanan Kependudukan, Komite Penasihat Kependudukan dan pada Menlu Pala sendiri.
Lebih rinci, laporan Ombudsman tersebut meliputi hal-hal:
* Penerbitan dua izin surat perjalanan bisnis APEC untuk Doko Tjandra pada Februari dan Juni 2009;
* Persetujuan yang tidak tepat dan melanggar hukum dalam pemberian izin tinggal permanen kepada Djoko Tjandra;
* Penyalahgunaan kekuasaan oleh Menteri Luar Negeri Ano Pala dalam menjalankan kekuasaan diskresinya menurut pasal 20 dari Undang-Undang Migrasi PNG
* Perilaku yang tidak benar dan melanggar hukum oleh Pala dalam memberikan kewarganegaraan kepada Tjandra;
* Ketidakpatutan dan melawan hukum dalam penerbitan paspor PNG No B328500 kepada Djoko Tjandra oleh Rabura dan peawai Imigrasi.
* Penerbitan yang tidak layak dan melanggar hukum paspor no C116701 kepada Joe Chan, yang bertentangan dengan peraturan tentang paspor, oleh Rabura dan pegawai Imigrasi.
Komisi Ombudsman mengatakan Otoritas Layanan Imigrasi dan Kependudukan telah gagal memenuhi kewajiban yang dipercayakan kepada mereka oleh Negara.
Lebih jauh, laporan Komisi Ombudsman juga mempertanyakan mengapa mantan Hakim Agung Ano Pala tetap memberikan kewarganegaraan Djoko Tjandra, padahal otoritas PNG lainnya memberi saran sebaliknya.
Laporan itu mengatakan Pala menyetujui permohonan Tjandra dan memberinya kewarganegaraan dengan naturalisasi karena mengetahui bahwa Tjandra "tidak memenuhi persyaratan konstitusional".
"Menteri juga mengabaikan saran oleh Badan Keamanan Nasional, Organisasi Intelijen Nasional, Polisi PNG dan Interpol bahwa pemohon Joko Tjandra memiliki catatan buruk," kata laporan itu.
"Nama (Djoko Tjandra) ada pada red notice Interpol dan dicari sebagai buronan oleh pemerintah Indonesia."
Komisi Ombudsman mengatakan Indonesia telah meminta PNG untuk mengekstradisi Tjandra untuk menjalani hukuman penjara dua tahun, tetapi permintaan itu tidak dipenuhi.
Laporan itu mengatakan Tjandra memperoleh paspor PNG pada 4 Mei 2012 dengan nomor paspor B328500.
Pada 7 Mei 2012, ia mengajukan permohonan paspor lain yang kemudian disetujui, dengan nomor B330971 atas nama Joe Chan.
Editor : Eben E. Siadari
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...