Extra Ordinary Dream
Tidak ada ukuran untuk cita-cita. Tidak ada ukuran besar atau kecil, tidak ada ukuran fantastis atau sepele, tidak ada ukuran normal atau aneh.
SATUHARAPAN.COM – Saya pernah mengajar di sebuah Taman Kanak-kanak di daerah Taman Siswa Yogyakarta pada pertengahan 2012. Suatu hari saya dan anak-anak bicara tentang cita-cita. Top survey cita-cita selalu saja profesi dokter, diikuti dengan keinginan menjadi polisi dan menjadi guru. Tak ada yang aneh dan tak ada yang salah. karena sejak saya masih TK pun, deretan profesi itu yang dipopulerkan. Setelah selesai memberikan motivasi kepada anak-anak, kelas pun usai.
Dua tahun kemudian, adik saya yang tengah mengambil kuliah Pendidikan Luar Biasa, sering terjun ke SLB dan bertemu dengan banyak anak istimewa. Suatu hari pula, adik saya dan rekan-rekan kuliahnya mendapat kesempatan belajar dengan anak-anak difabel. Topik yang dibicarakan di kelas adalah cita-cita. Pembicaraan yang terjadi sangat penuh dinamika. Ada anak yang hiperaktif berceloteh ingin jadi pilot sambil menerbangkan pesawat kertas. Ada anak pengidap autis yang bilang ingin menjadi anggota partai politik sambil ia menggambar deretan bendera parpol yang disalin dari surat kabar.
Namun, sebagian anak mengutarakan cita-cita yang extra ordinary, yang menyuntikkan haru di hati orang yang mendengarnya. Dominika Catur—anak tunadaksa, yang bergantung pada kursi roda—berkata, ”Aku hanya ingin bisa berjalan.” Ada lagi anak tunarungu, sambil menggunakan bahasa isyarat tangan, mengungkapkan keinginannya menjadi guru pelajaran bahasa Indonesia. Ada pula anak tunagrahita yang bercita-cita membantu ibunya bekerja.
Pengalaman saya mengajarkan arti cita-cita sangat meaningless dibandingkan dengan apa yang dialami adik saya di kelas SLB. Penuturan cita-cita yang extra ordinary tersebut membuat saya terhenyak, menyadari bahwa tidak ada ukuran untuk cita-cita. Tidak ada ukuran besar atau kecil, tidak ada ukuran fantastis atau sepele, tidak ada ukuran normal atau aneh.
Kita bisa saja memotivasi seseorang untuk bermimpi setinggi-tingginya. Tetapi, kita tidak bisa memaksakan suatu mimpi kepada seseorang. Kapasitas dan kapabilitas orang tidaklah seragam, oleh sebab itu biarlah muncul ragam cita-cita. Sebagaimana syair Laskar Pelangi garapan Grup Band Nidji—”Mimpi adalah kunci untuk kita menaklukkan dunia, bebaskan mimpimu ke angkasa, warnai bintang di jiwa….”; bukankah mimpi itu hak setiap orang? Jangan sekali-sekali meremehkan impian orang lain! Berani punya mimpi itu sudah sebuah pencapaian yang patut diapresiasi, khususnya bagi anak-anak difabel.
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...