Mari Bercermin!
”Sesungguhnya orang bertemu dengan dirinya yang sejati di depan sebuah cermin.”
SATUHARAPAN.COM – Di bawah nama samaran Kon Krailat, penulis Muangthai, Pakon Phongwarapha menulis sebuah cerpen interesan yang berjudul In the Mirror. Tokoh protagonis cerpen ini adalah Chiwin, pemuda lulusan sekolah pendidikan guru. Karena tekanan ekonomi dan dipolesi naluri petualangan, Chiwin mengadu nasib di Bangkok. Di Metropolitan sarang Pagoda ini ia tidak menjadi guru, melainkan bekerja sebagai penari telanjang di sebuah night club. Malam demi malam dilaluinya dengan liukan bugil ria di depan mata jalang para penonton yang selalu menyambutnya dengan tepuk tangan meriah.
Titik balik terjadi saat ia mendapat sepucuk surat kumal dari ibunya. Bunga api kesadaran ini berkulminasi di kamar ganti, tepatnya di depan sebuah cermin kecil di atas wastafel. Cermin kecil yang selalu dipakainya untuk menata diri sebelum tampil di panggung telah menjadi alat bantu untuk sadar diri. Chiwin bersolilokui: ”Bila saya ingin mengejar hidup yang baik dan bahagia, bagaimana mungkin saya harus menelanjangi setiap inci tubuhku untuk dipertontonkan?”
Cermin yang konon ditemukan sekitar tahun 1500-an di Venesia, Italia, kini dengan mudah ditemukan di mana-mana, mulai dari kamar mandi, kendaraan, hingga pertokoan. Di dalam tas mini seorang perempuan, selain gincu hampir pasti ada cermin. Cermin telah menjadi kebutuhan, sehingga tak terbayangkan sebuah rumah tanpa cermin. Bila demikian fungsi cermin harus diperluas, bukan sekadar untuk mematut diri. Cermin bisa dipakai sebagai jembatan emas untuk mengenal diri.
Kalau Chiwin menjadi sadar dan bertekad banting stir di depan cermin, lain lagi dengan Ratu Sihir yang narsistis dalam dongeng Puteri Salju. Sepuluh kali ia bertanya kepada cermin ajaib yang tergantung pada dinding istana: ”Siapakah perempuan tercantik di seluruh jagat?” ”Tentu saja, Engkau Sang Ratu,” jawab cermin ajaib.
Celakanya, kelak cermin memberikan jawaban lain yang mengarah pada Puteri Salju: ”Perempuan terayu di dunia adalah seorang gadis berkulit seputih salju, sehalus pualam, bersepatu kaca, bermata bagaikan bintang timur.” Ratu ganas ini lantas berang dan sang cermin menjadi korban. Apakah cermin harus dipecahkan bila ia memperlihatkan wajah kita yang bukan melulu kemulusan?
Setiap orang pasti bercermin. Namun demikian, bercermin bagi seorang petani di desa berbeda dengan bercermin bagi pemimpin agama, artis, gubernur, presiden, menteri, dan para wakil rakyat. Dan apa pun profesi profesi kita, semestinya kita perlu bebenah setelah bercermin.
”Mengubah yang lain harus dimulai dengan mengubah diri sendiri,” ujar petuah usang. Perubahan yang diperlukan dalam diri hanya bisa terjadi bila kita—setelah bercermin—bersedia mengatasi kekurangan diri sebagaimana terpantul dalam cermin. Dan cerpen In The Mirror memang berpuncak pada wasiat syarat makna: ”Sesungguhnya orang bertemu dengan dirinya yang sejati di depan sebuah cermin.”
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...