FARC Bersedia Perbaiki Perjanjian Damai Kolombia
HAVANA, SATUHARAPAN.COM - Pemimpin pemberontak komunis Kolombia FARC mengungkapkan, hari Senin (3/10), pihaknya siap memperbaiki perjanjian damai dengan pemerintah. Hal itu diungkapkan sehari setelah rakyat negara tersebut menolak perjanjian melalui referendum sehingga menimbulkan ketidakpastian terhadap proses perdamaian yang sudah berlangsung selama empat tahun.
Hasil mengejutkan tersebut “membuat kami kian berkomitmen” mengakhiri konflik, ujar Rodrigo Londono, pemimpin Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (FARC).
“Terdapat beragam cara untuk membaca (hasil referendum) dan kami harus menganalisis cara-cara tersebut guna mencari tahu hal-hal yang perlu diperbaiki,” ujar Londono alias Timoleon "Timochenko" Jimenez dalam wawancara dengan stasiun radio di Havana, lokasi perundingan selama empat tahun terakhir.
Presiden Juan Manuel Santos mengatakan bahwa gencatan senjata dengan pemberontak FARC akan berakhir pada tanggal 31 Oktober.
Pada hari Selasa (4/10), negosiator telah melanjutkan pembicaraan di Havana, berupaya terus menghidupkan kesepakatan damai menyusul penolakan dalam referendum hari Minggu (2/10) tersebut.
"Saya berharap kami bisa bergerak maju untuk mewujudkan kesepakatan yang diperlukan untuk menemukan solusi dalam konflik ini," kata Presiden Juan Manuel Santos dalam pidato di televisi, hari Selasa waktu Kolombia.
Sementara itu, kepala delegasi pemerintah Kolombia Humberto de la Calle mengajukan pengunduran diri kepada Presiden Juan Manuel Santos, yang berkomitmen mengakhiri konflik selama 52 tahun terakhir yang telah merenggut lebih dari 250 ribu korban jiwa.
“Semua kesalahan yang kami buat sepenuhnya merupakan tanggung jawab saya,” ujar De la Calle kepada awak media di istana presiden.
“Oleh karena itu, saya datang untuk memberi tahu presiden bahwa saya mengajukan pengunduran diri sebagai kepala delegasi karena saya tidak akan lagi menjadi penghalang bagi upaya ke depannya.”
Mayoritas rakyat Kolombia menolak perjanjian damai dalam referendum, Minggu, dengan selisih suara yang sangat tipis, yakni 50,21 persen menolak berbanding 49,78 persen mendukung.
Mayoritas pemilih mengatakan mereka menaruh kebencian atas pertumpahan darah yang dilakukan oleh pemberontak sayap kiri FARC dan jaminan kekebalan hukum yang diberikan dalam perjanjian damai bagi para anggota kelompok tersebut.
Perjanjian damai tersebut semestinya dapat mengakhiri konflik bersenjata terakhir di belahan Bumi barat.
Tingkat partisipasi pemilih relatih rendah hanya sekitar 37 persen. (AFP)
Dampak Childfree Pada Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dam...