Fernando Menyalakan Semangat Sumpah Pemuda di Kampung Halaman
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Seorang sarjana seharusnya bisa berdampak bagi kampung halamannya, dengan mengamalkan salah satu poin Tri Dharma Perguruan Tinggi, ‘Pengabdian kepada Masyarakat’. Bila setiap sarjana melakukan hal tersebut, maka masyarakat daerah akan memiliki intelektualitas lebih baik.
Hal tersebut merupakan dasar pemikiran Junius Fernando Saragih untuk mengabdikan diri di kampung halamannya, Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara, pascameraih gelar sarjana dari Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (IP FISIP Unpad) Bandung, bulan Februari 2014 lalu.
“Salah satu wujud nyata pengabdian yang bisa dilakukan lulusan perguruan tinggi agar berdampak bagi bangsa dan negara ini adalah dengan mengabdikan diri untuk kampung halamannya masing-masing, misalnya dalam waktu satu tahun. Dengan begitu, maka setiap tahunnya akan ada intelektual muda yang berkunjung ke daerah, menularkan corak intelektualitas dan berkontribusi dalam pembangunan daerah,” kata sosok yang akrab disapa Nando itu saat berbagi makna peringatan Hari Sumpah Pemuda kepada satuharapan.com, hari Selasa (27/10).
Menurut dia, pemikiran tersebut lahir bukan tanpa alasan. Perhatian para pemuda yang luput untuk melihat pembangunan di daerah berjalan di tempat, kemudian menyaksikan pemuda sibuk mencari lowongan kerja di kota-kota besar, tanpa menyadari daerah butuh inovasi, gagasan, menjadi alasan daerah butuh aplikasi ilmu para intelektual muda.
“Sudah saatnya, lulusan perguruan tinggi kembali ke kampung halamannya masing-masing, membangun Indonesia dari daerah menuju pusat. Pemuda harus bersatu melakukan inovasi-inovasi dan mengaplikasikan ilmu yang sudah dipelajari agar lebih bermanfaat bagi kehidupan masyarakat dan masalah demi masalah bangsa ini terselesaikan lalu memajukan Indonesia,” ucap Nando.
Tak Peduli Kecil
Dia pun menceritakan, bentuk pengabdian yang telah berhasil dilakukan bagi kampung halamannya adalah memberikan motivasi kepada para pelajar agar bisa masuk ke perguruan tinggi negeri (PTN). Padahal, awalnya dia ingin membangun sebuah rumah tempat membaca dan memberikan materi pelatihan menulis dasar bagi siswa yang duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA).
“Awalnya saya ingin membuat rumah baca, lalu karena saya punya bakat menulis, saya ingin membuat pelatihan menulis dasar bagi siswa SMA. Semuanya berubah setelah saya datang ke salah satu sekolah di Kecamatan Sidikalang, SMA Yayasan Perguruan Nasional. Kepala sekolahnya minta saya memberikan motivasi agar siswa bisa masuk PTN, karena sekolah itu semangat belajar perlu didorong dan akses informasi untuk masuk PTN perlu diperbanyak,” kata Nando.
Meskipun tidak sesuai keinginan awalnya, Nando memilih tetap melaksanakan permintaan Kepala Sekolah SMA Yayasan Perguran Nasional itu. Dengan harapan, seiring berjalannya waktu dia akan mendapatkan kesempatan memberikan pelatihan menulis dasar kepada pelajar SMA tersebut.
Namun, ternyata itu menjadi langkah awal Nando mengubah keinginannya. Akhirnya dia mengunjungi sejumlah sekolah di Kecamatan Sidikalang untuk memberikan motivasi masuk PTN. Melihat antusiasme para pelajar dari setiap sekolah yang dikunjungi, Nando kian semangat mengelilingi sekolah-sekolah lainnya, dengan niat berbagi tentang masa depan dengan para pelajar.
“Bila ini bisa memberikan pencerahan, setidaknya saya sudah berkontribusi untuk kampung halaman saya sendiri, meskipun masih sangat kecil bentuknya bila dibandingkan para pemuda inspiratif yang pernah saya kenal dan temui,” kata dia.
Di balik semua proses yang dijalaninya, Nando mengaku menerima banyak pelajaran. Mulai dari mengetahui seorang siswa yang dicap nakal ternyata berasal dari keluarga dengan kondisi finansial buruk, kemudian melihat siswa sekolah sambil bekerja, bahkan menyaksikan siswa bolos sekolah untuk mencari uang demi keperluan hidup keluarganya.
Bahkan, saat sedang mengunjungi rumah seorang siswa, Nando melihat bagaimana kemiskinan bisa menghadirkan sikap tidak manusiawi, di mana seorang ibu dipasung dalam rumahnya sendiri karena menderita gangguan jiwa. “Artinya, kemiskinan sesungguhnya tidak bersembunyi, namun mata kita kurang banyak melihat,” kata dia.
Menjadi Titik
Oleh karena itu, Nando mengajak pemuda Indonesia menjadikan momentum peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-87 sebagai waktu merefleksikan diri dan mengikuti jejak intelektual muda yang sudah lebih dahulu membangun daerah terpencil. Masa depan Indonesia ada di tangan pemuda dan pemuda tidak perlu menunggu waktu melahirkan sebuah karya besar. Sebab, meskipun kecil, karya yang bermanfaat bisa menginspirasi jutaan pasang mata manusia.
Dia menambahkan, proses tersebut bisa dikatakan menjadi salah satu cara membangun Indonesia dari berbagai titik. Analoginya, titik-titik ini akan membentuk garis dan garis-garis itu akan membentuk sebuah bidang. Demikianlah seterusnya, hingga permasalahan yang ada bisa terselesaikan.
“Sehingga keberadaan pemuda bisa diakui, pemuda tidak hanya sekadar menjadi golongan yang hanya bisa mengkritik, melainkan bisa membuktikan idealisme yang dimiliki. Semoga pada peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-87 ini, semakin banyak pemuda yang berani berbuat untuk Indonesia,” tutur Nando.
Editor : Eben E. Siadari
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...