Filep Karma Minta Tapol Papua dan Maluku Selatan Dibebaskan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Mantan tahanan politik Organisasi Papua Merdeka (OPM), Filep Karma, meminta kepada Presiden Joko Widodo agar membebaskan tahanan politik Papua dan Maluku Selatan sesuai dengan yang dijanjikan oleh Sang Presiden tahun lalu.
Hal itu dia katakan dalam konferensi pers di kantor Setara Institute, Jakarta, hari ini (25/10).
Hal yang sama juga disuarakan oleh Setara Institute lewat pernyataan persnya pada hari yang sama.
Filep Karma, yang dibebaskan dari penjara pada November 2015 sesudah 11 tahun dipenjara karena tuduhan makar dan penghianatan kepada negara, mengatakan, Jokowi pernah berjanji akan membebaskan para tahanan politik di Papua dan Maluku Selatan.
Janji tersebut dikemukakan pada bulan Mei 2015, ketika presiden bersama Ibu Negara mengunjungi penjara Abepura. Jokowi ketika itu memberikan grasi kepada lima narapidana Tentara Pembebasan National-Organisasi Papua Barat (TPN-OPM) dan berjanji akan membebaskan tapol-tapol lainnya.
Saat itu yang diberikan grasi adalah Apotnalogik Lokobal, Numbungga Telenggen, Kimanus Wenda, Linus Hiluka dan Jefrai Murib. Mereka dihukum penjara antara 19 tahun sampai seumur hidup sejak April 2013. Mereka divonis terlibat pembobolan gudang senjata Kodim Wamena.
Menurut Filep Karma, dari Hiluka ia memperoleh keterangan bahwa sahabatnya itu meminta agar ia juga dibebaskan. Menanggapi permintaan itu, Jokowi menjawab, "Ini adalah awal, nantinya setelah ini akan ditindaklanjuti pemberian grasi atau amnesti untuk wilayah lain karena ada kurang lebih 90 orang yang masih di dalam penjara. Sekali lagi ini adalah awal dimulainya pembebasan."
Menurut Filep, ke-90 orang yang dimaksud Jokowi, selain tapol di Papua adalah 30-an warga Maluku Selatan yang ditahan sejak 2007 karena menari cakalele dengan bendera Republik Maluku Selatan di stadion Ambpn. Total ada 68 aktrivis RMS dipenjara dengan hukuman tertinggi 20 tahun.
"Mereka sama sekali tak melakukan kekerasan. Bahkan tombak yang mereka pakai dari kayu. Mereka kebanyakan dipenjara di Ambon dan Nusa Kambangan, termasuk petani Ruben Saija dan guru Johan Teterisa."
Berjuang Secara Damai
Filep Karma mengatakan melakukan protes dan meneriakkan merdeka dengan damai seharusnya bukan merupakan kejahatan. "Kami tak membunuh orang. Kami tidak terlibat terorisme," kata dia.
Itu sebabnya, ketika vonis makar atas dirinya turun dari Pengadilan Negeri Jayapura dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Papua serta Mahkamah Agung, di Jakarta, Filep Karma mengajukan banding ke tingkat internasional.
Pada November 2011, kata dia, UN Working Group on Arbitrary Detention di New York, sebuah pengadilan internasional, menyatakan bahwa penahanan Filep Karma adalah tindakan sewenang-wenang.
"UN berpendapat tafsir terhadap pasal makar oleh ketiga pengadilan Indonesia tersebut 'tidak proporsional.' Sekali lagi PBB menyetujui bahwa saya tak menganjurkan kekerasan serta tak melakukan kekerasan. Saya hanya pidato soal penderitaan masyarakat Papua dalam pemerintahan Indonesia," kata Filep Karma.
Filep Karma mengatakan, ia kemudian dibebaskan setelah menjalani hukuman 11 tahun penjara. Ia dibebaskan setelah diberi remisi dan dianggap sudah menjalani dua pertiga dari masa tahanan.
Namun, kata Filep Karma, masih banyak tapol yang dipenjara, meskipun tidak melakukan kekerasan. Filep Karma memberi contoh tujuh orang tapol RMS di Pulau Nusa Kambangan.
"Mereka semua petani dan nelayan, kecuali Johan Teterisa yang sering dipanggil 'Pak Guru', yang dengan kesadaran sendiri ingin berjuang dengan damai bagi tanah arinya lewat tarian cakalele. Mereka melambai-lambaikan bendera RMS di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Ambon. Mereka ditangkap, disiksa dan dipenjara sampai 20 tahun. Kasihan anak istri mereka. Anaknya Ruben Saija umur setahun ketika bapaknya ditahan. Kini anaknya sudah umur 11 tahun, tak kenal bapaknya."
Menurut Filep Karma, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly pernah berjanji kepadanya bahwa setidaknya ia akan memindahkan para tahanan RMS itu ke Ambon agar keluarga bisa membesuk.
"Saya miris bila ingat para tahanan RMS. Ini persis seperti hukuman Hindia Belanda terhadap Pangeran Diponegoro dari Jawa dibuang ke Manado abad 19. Mereka dipisahkan dari keluarganya," kata Filep Karma.
Mendesak Jokowi untuk Membebaskan
Filep Karma mengingatkan pemerintah Indonesia bahwa sekarang ada sebuah gerakan internasional guna menekan negara-negara Asia Tenggara yang mengirimkan warga mereka ke penjara karena kegiatan politik secara damai.
"Saya tidak begitu berharap tetapi juga tak ada ruginya bila Indonesia bersedia menegakkan hukum dan menghormati HAM. Mohon bebaskan semua tahanan politik di Maluku Selatan dan Papua," kata dia.
Hal serupa disampaikan oleh Setara Institute. Lembaga ini mencatat bahwa masih ada 29 tapol Maluku yang masih di penjara, mengutip data yang dikeluarkan oleh Tempat Advokasi Masyarakat Maluku (Tamasu). Sedangkan di Papua, menurut Setara, masih ada 41 orang.
Kesehatan para tapol Papua, menurut Setara, kurang diperhatikan. Sebut saja Kasimirus Mahuze (Ketua KNPB OnggariO yang dalam kondisi kritis.
Selain itu Alexander Nekenem tapol di Manokwari juga mengalami sakit berupa benjolan pada leher bagian belakang sebelah kiri. Sedangkan tapol Steven Itlay, ketua KNPB Timika, semenjak ditangkap dan diadili pada 6 April 2016 dengan pasal makar, sampai sekarang masih dalam proses sidang pengadilan.
Oleh karena itu Setara merekomendasikan, mendesak pemerintah menjamin kebebasan berekspresi rakyat Papua dalam menyuarakan aspirasi dan pandangan mereka. Setara juga meminta dibebaskannya seluruh tahanan politik Papua dan juga Maluku yang masih mendekam dalam penjara.
Editor : Eben E. Siadari
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...