Filipina: Serangan Antar Kelompok Muslim, Sembilan Tewas
COTABATO, SATUHARAPAN.COM-Sembilan orang tewas dan tiga terluka di Filipina selatan hari Sabtu (12/2) ketika konvoi kendaraan ditembaki dalam penyergapan terkait perseteruan antara kelompok Muslim yang bersaing, kata polisi.
Serangan itu terjadi di wilayah dengan sejarah panjang kekerasan, dan di mana pernah terjadi 58 orang, termasuk 32 jurnalis, dibunuh dalam pembantaian politik terburuk di negara itu pada tahun 2009.
Pemimpin kelompok Peges Mamasainged dan delapan lainnya tewas saat mereka melakukan perjalanan menyusuri jalan di kawasanpertanian di Provinsi Maguindanao, menurut polisi.
Baik korban maupun penyerang dipimpin oleh mantan komandan kelompok gerilya Muslim yang melancarkan pemberontakan berdarah selama puluhan tahun di wilayah tersebut sebelum perjanjian damai ditandatangani pada tahun 2014, kata juru bicara polisi provinsi, Fhaeyd Cana.
Pihak berwenang sedang mencari tersangka yang dipimpin oleh saingan Mamasainged, kata Cana, seraya menambahkan bahwa kedua kelompok itu terlibat dalam pertikaian darah yang sudah berlangsung lama.
Kelompok Muslim yang dipersenjatai dengan baik di bagian selatan negara yang mayoritas penduduknya beragama Katolik, terkadang menggunakan perang klan untuk menyelesaikan perselisihan yang dapat berlangsung selama beberapa generasi.
“Polisi (kota Guindulungan) menggambarkan serangan ini sebagai sebuah kemustahilan,” kata Cana, menggunakan istilah lokal untuk perseteruan darah. Serangan itu adalah yang paling berdarah di provinsi itu sejak pembantaian 2009, tambahnya.
Lima anggota kelompok termasuk di antara orang-orang bersenjata yang dinyatakan bersalah atas pembunuhan itu. Para pemimpin kelompok dijatuhi hukuman penjara 30 tahun pada 2019.
Baik tersangka utama dalam serangan hari Sabtu dan Mamasainged yang terbunuh pernah menjadi komandan Angkatan Bersenjata Islam Bangsamoro, cabang militer Front Pembebasan Islam Moro.
Front ini menandatangani kesepakatan damai dengan Manila pada Maret 2014, mengakhiri pemberontakan puluhan tahun yang merenggut puluhan ribu nyawa. Para pemimpinnya sekarang memimpin daerah yang memiliki pemerintahan sendiri di bekas medan perang yang mencakup wilayah Maguindanao.
Namun, penonaktifan ribuan mantan pejuang gerilya dan senjata mereka telah tertunda oleh pandemi virus corona serta masalah teknis. (AFP)
Editor : Sabar Subekti
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...