Film Kisah Korban 65, Mengurai Luka
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - I Gde Putu Wiranegara menceritakan kisah derita para korban ’65 melalui film dokumenter. Film ini dibuat bertujuan agar Indonesia tidak lagi terjebak ke dalam kekerasan serupa seperti yang terjadi pada tahun ’65. Film itu dibuat bersama sastrawan dan penyair Putu Oka Sukanta.
“Kita ceritakan apa yang sebenarnya terjadi tetapi tanpa dendam di dalamnya. Kita hanya ceritakan agar bangsa ini ke depannya tidak melakukan hal yang seperti dulu dilakukan.” Kata sutradara I Gde Putu Wiranegara di acara diskusi dan pemutaran film “Meneropong Tragedi 1965” di Bentara Budaya Jakarta pada hari Jum’at (20/9).
Film itu dibuat dengan modal pinjaman kamera. Dana pembuatan film digalang Putu Oka Sukanta dengan kawan-kawannya.
“Ada yang menyumbang 50 ribu, 100 ribu untuk kami belikan kaset. Mulailah kami merekam satu per satu. Mulailah saya berkenalan dengan para korban. Saya keliling, merekam testimony beliau yang pernah ditahan, mengalami penderitaan pada pasca ‘65. Duit keluar cumin untuk ongkos taksi buat pergi wawancara.”
I Gde Putu Wiranegara adalah Sutradara Film Dokumenter dan Pengajar Akademi Teknologi Komunikasi dan Informasi (ATKI). Dia adalah korban ’65. Bapaknya bernama Suguta. Bapak I Gde Putu Wiranegara bukanlah anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Tetapi bapaknya anggota Partai Indonesia (Partindo), partai loyalis Soekarno.
Dalam pembuatan film itu dia berkenalan dengan kawan bapaknya di penjara, I Ngurah Jenawi. I Ngurah Jenawi yang tampil dalam film “Menyemai Terang dalam Kelam” sekarang menjabat Kepala Desa Adat di kampungnya. Jabatan sosial yang jarang bagi seorang tahanan politik. I Ngurah Jenawi ditangkap ketika masih sekolah SMA. Semasa di penjara, I Ngurah Jenawi dekat Bapak Wiranegara yang dikenal sebagai tokoh pramuka.
Menceritakan kisah para korban ’65 bukan hal mudah. “Untuk bercerita tentang itu saya awalnya takut sekali. Karena kami di Bali itu tertekan sekali. Sampai pada suatu saat film itu pernah diputar di Bali, ibu saya bukan main takut. Sampai tahun 2007 itu masih takut. Karena pengaruh jaman dulu berurusan dengan tentara pasti susah banget.”
Tetapi ada kelompok korban ’65 yang bersyukur dengan berhasilnya pembuatan film I Gde Putu Wiranegara. Karena ada yang berani mengungkapkan peristiwa itu.
Dalam “Tumbuh dalam Badai” merupakan ungkapan perasaan I Gde Putu Wiranegara sebagai anak korban ’65.
“Kami harus menderita bertahun-tahun. Derita kami lebih, daripada bapak kami yang dipenjara. Karena mereka di penjara sedangkan kami di penjara masyarakat. Saudara pun kadang-kadang menganggap kami lebih kotor dari anjing. Adik-adik saya harus tinggal di panti asuhan supaya bisa sekolah. Saya sendiri yang tidak masuk panti asuhan.”
“Dulu keluarga, masyarakat, menginjak kami. Begitu adik saya satu per satu masuk kuliah dan lulus, mereka berubah total. Kami tidak bermaksud untuk pamer. Kami bahagia bisa menunjukkan survive pada hari ini. Walaupun tidak menjadi orang kaya tetapi setidaknya menjadi orang yang sempat kuliah.” Kata I Gde Putu Wiranegara.
Sebagai korban ’65, I Gde Putu Wiranegara menonjolkan penghapusan dendam dalam filmnya. Dia tidak ingin kekerasan serupa pada tahun ’65 berulang.
“Kalau tidak menghentikan dendam, peristiwa itu akan terus berulang. Dendam, balas dendam. Kita harus selesaikan. Makanya penting sekali yang namanya rekonsiliasi nasional. Tetapi Pemerintah tidak mau ke arah situ, belum ke arah situ. Rekonsiliasi yang pernah digagas Gus Dur tidak selesai. ”
Walau secara politik belum terjadi rekonsiliasi tetapi, I Gde Putu Wiranegara menyambut gembira rekonsiliasi yang terjadi di akar rumput. Anak para korban ’65, anak para jenderal yang dibunuh, dan anak pelaku tragedi pembunuhan saling bertemu. Rekonsiliasi di antara mereka sangat penting karena mereka adalah anak-anak yang tidak tahu kesalahan masa lalu tindakan orang tuanya.
I Gde Putu Wiranegara menilai masyarakat sekarang sudah tahu siapa yang benar dan siapa yang salah dalam peristiwa ‘65. Baginya hal itu sudah cukup dan haknya sudah dianggap sama dengan yang lain, kecuali untuk masuk tentara.
Sementara permintaan maaf negara tetap diperlukan untuk peristiwa ’65 yang telah terjadi. Menurutnya hal itu sudah dilakukan Jerman. Jerman meminta maaf atas kejahatan masa lalu yang dilakukan Nazi. Permintaan maaf negara yang dilakukan Jerman menjadikan negara itu lebih tenang.
“Ga ada rasa saling curiga, amarah. Kalau negara kita bisa melakukan itu seperti yang dilakukan Jerman itu bagus karena mengakui pernah salah. Jepang, Belanda, mau ngaku koq? Kenapa negara kita gak? Jelas-jelas buktinya banyak sekali. Dari penelitian-penelitan buktinya banyak sekali.”
Ada dua film I Gde Putu Wiranegara yang diputar di Bentara Budaya Jakarta, yaitu “Tumbuh dalam Badai” dan “Menyemai Terang dalam Kelam”.
Selain itu dia juga menghasilkan film “Pakubuwono XII” yang mendapat penghargaan film dokumenter terbaik dalam Festival Film Indonesia 2005. Film lainnya ”Sang Budha Bertahta di Borobudur” juga merebut penghargaan Festival Film Indonesia 2007 sebagai film dokumenter terbaik.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...