Forum Rekonsiliasi Warga Syiah Sampang Abaikan Prinsip Rekonsiliasi
SURABAYA, SATUHARAPAN.COM - Forum Rekonsiliasi yang dijalankan Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya Profesor Abd Ala belum sepenuhnya menjalankan prinsip-prinsip rekonsiliasi yang digariskan Presiden SBY. Prinsip-prinsip rekonsiliasi seperti jaminan pemulihan dan pelindungan hak-hak seluruh warga Syi'ah Sampang, jaminan pemulangan warga Syi'ah Sampang ke kampung halamannya, pemulihan segala harta milik korban yang hancur, perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan jaminan perlindungan keamanan dan hukum seluruh warga Syi'ah Sampang. Demikian siaran pers perwakilan warga Syiah Sampang, Ahlul Bait (ABI) wilayah Jawa Timur, dan KontraS Surabaya pada hari Sabtu (27/7).
Forum Rekonsiliasi sudah berjalan tiga kali: Minggu (21/7) di IAIN Sunan Ampel Surabaya, Selasa (23/7) di IAIN Sunan Ampel Surabaya, dan terakhir, Kamis (25/7) di lounge VIP Bandara Juanda. Tetapi Forum Rekonsiliasi itu meninggalkan sejumlah catatan kritis.
Pandangan yang tidak menghormati dan melindungi kebebasan hak beragama dan keyakinan bagi warga Syi'ah Sampang masih dominan. Dalam pertemuan-pertemuan Forum Rekonsiliasi, warga Syi'ah Sampang tetap dianggap sebagai pengikut ajaran sesat dan pandangan tersebut disampaikan pejabat negara.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo memiliki pandangan bahwa pokok permasalahan konflik Sampang adalah adanya penodaan agama. Sementara Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz menyatakan pembangunan infrastruktur di daerah konflik akan dilaksanakan paralel dengan usaha pencerahan para ulama untuk mengarahkan para pengungsi Syiah ke jalan yang benar. Artinya, Djan Faridz berpandangan bahwa warga Syiah Sampang adalah pengikut ajaran yang tidak benar. Djan Faridz sendiri berkomitmen membangun rumah warga Syiah setelah mereka keluar dari keyakinan Syiahnya dan pindah ke ajaran Sunni.
Menteri Agama Suryadharma Ali menyatakan rekonsiliasi dilaksanakan dengan diawali pernyataan atau ikrar warga Syiah Sampang untuk keluar dari keyakinannya dan menyatakan mengikuti ajaran Sunni. Pernyataan atau Ikrar ini harus disampaikan di depan para ulama, pemerintah dan masyarakat luas. Pernyataan Menteri Agama tersebut hampir sama dengan pernyataan para ulama yang tergabung dalam Badan Silaturrahmi Ulama se-Madura (Bassra). Pernyataan Bassra intinya mensyaratkan rekonsiliasi diawali dengan warga Syiah Sampang menyatakan keluar dari ajaran Syiah dan mengikuti ajaran Sunni.
Dalam setiap pertemuan tersebut, pemerintah menolak keras keterlibatan NGO/LSM pendamping korban. Undangan pertemuan juga selalu diberikan kepada perwakilan warga Syiah Sampang sehingga terkesan bahwa pertemuan dilakukan tergesa-gesa dan serampangan. Situasi pertemuan juga cenderung menyudutkan warga Syiah Sampang selaku korban. Dalam pertemuan selalu dihadirkan tokoh-tokoh dari Sampang dan Pamekasan yang selama ini menjadi pelaku penyebar dakwah kebencian atas kelompok lain. Forum Rekonsiliasi justru memberi ruang lebih banyak secara berlebihan kepada pelaku penyebar dakwah kebencian atas kelompok lain.
Forum Rekonsiliasi yang dijalankan pemerintah Jawa Timur belumlah memenuhi prinsip-prinsip yang digariskan Konstitusi dan nilai-nilai HAM. Menyoal tentang keyakinan dan agama, bahwa konstitusi telah menjamin sepenuhnya kebebasan berkeyakinan dan beragama. Sementara pernyataan Gubernur Jawa Timur Soekarwo, Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz, dan Menteri Agama Suryadharma Ali sama sekali belum menunjukkan komitmennya mengenai hal itu. Apabila terdapat sejumlah tokoh agama atau tokoh masyrakat yang berkehendak warga Syiah Sampang berpindah keyakinan maka boleh dilakukan sepanjang dengan cara-cara yang tidak mengabaikan penghormatan kebebasan berkeyakinan dan beragama, tanpa penghujatan, kebencian, dan hal lain-lain yang melanggar prinsip hukum dan HAM. Upaya mengajak orang lain untuk berpindah keyakinan harus dilakukan dengan beradab dan terhormat melalui syiar damai dan menyejukkan.
Editor : Yan Chrisna
AS Memveto Resolusi PBB Yang Menuntut Gencatan Senjata di Ga...
PBB, SATUHARAPAN.COM-Amerika Serikat pada hari Rabu (20/11) memveto resolusi Dewan Keamanan PBB (Per...