Franz Magnis: Organisasi Agama Harus Memperbarui Kesetiaan pada Pancasila
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Budayawan Indonesia, Franz Magnis-Suseno menilai kebhinnekaan pada awalnya bukan prinsip, melainkan pernyataan bahwa Indonesia adalah bangsa plural, terdiri atas banyak budaya, etnik, agama dan aliran keagamaan. Kebhinnekaan kemudian menjadi prinsip kalau pluralitas, yaitu kebhinnekaan itu, dibenarkan, yakni apabila bangsa Indonesia mengatakan: "adalah baik bahwa kita ini plural/bhinneka".
Franz Magnis-Suseno mengatakan hal itu dalam wawancara dengan wartawan satuharapan.com, Melki Pangaribuan, pada hari Selasa, (11/8) di Kantor Ketua Pengurus Yayasan Pendidikan Driyarkara, Jakarta.
Franz Magnis-Suseno adalah imam Jesuit yang saat ini menjabat sebagai Ketua Pengurus Yayasan Pendidikan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
Franz Magnis-Suseno kami wawancarai untuk memperoleh pandangannya tentang sejauh mana perjalanan kebhinnekaan di Indonesia selama 70 tahun merdeka. Pandangan ini kami sajikan sebagai bagian dari edisi khusus dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun ke-70 Republik Indonesia.
Berikut ini selengkapnya wawancara dengan Franz Magnis-Suseno.
satuharapan.com: Dapatkah Bapak menjelaskan, apa sesungguhnya prinsip kebhinnekaan yang ditetapkan oleh para founding fathers kita ketika mereka merumuskan dan mendirikan negara ini?
Franz Magnis-Suseno: Kebhinnekaan dengan sendirinya bukan prinsip, melainkan pernyataan tentang suatu fakta: Indonesia adalah bangsa plural: terdiri atas banyak budaya, etnik, agama dan aliran keagamaan. Tetapi Kebhinnekaan menjadi prinsip kalau pluralitas, ya kebhinnekaan itu, dibenarkan, jadi kalau kita mengatakan: "adalah baik bahwa kita ini plural/bhinneka".
Prinsip itu diperkuat dan diperdalam dalam Pancasila – lima sila dalam Pembukaan UUD 1945: Pancasila tak lain adalah kesepakatan nasional (kesepakatan bangsa Indonesia) bahwa segenap warga bangsa diakui sepenuhnya kewajiban dan hak-haknya sebagai warga negara dan manusia tanpa membedakan antara agama, dan sebagai implikasi, antara etnik dan kebudayaan.
Pancasila adalah dasar kesepakatan semua komunitas budaya, etnik dan agamis di Indonesia untuk menjadi bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setelah 70 tahun Indonesia merdeka, dapatkah Bapak memberikan gambaran sampai di mana kemajuan kebhinnekaan dan kemajemukan dalam kehidupan kita bernegara? Bolehkah bapak memberikan penilaian dan contoh-contoh dalam hal apa kita mengalami kemajuan dan dalam hal apa kita mengalami kemunduran?
Fakta tak terbantah adalah bahwa sesudah 70 tahun merdeka, dan sekian konflik berat dan ringan, Indonesia kokoh bersatu. Kecuali di Papua dan (barangkali masih) di Aceh tak ada daerah atau etnik yang mau berpisah dari Indonesia. Itu justru terjadi karena Indonesia selama 70 tahun mengakui dan menghormati kebhinnekaannya.
Contoh keberhasilan Indonesia adalah bahwa di satu pihak hampir semua warga Indonesia cukup menguasai, dan sudah biasa, dengan bahasa nasional, bahasa Indonesia, tetapi tetap mempergunakan bahasa ibu masing-masing. Namun ada juga kemunduran. Intoleransi atas dasar keagamaan – mayoritas yang tidak menghormati hak minoritas untuk hidup dan beribadah menurut keyakinan mereka sendiri – terus bertambah.
Apa kira-kira yang dapat dilakukan oleh organisasi-organisasi keagamaan dalam mengembangkan dan meningkatkan kesadaran pada umat tentang Indonesia sebagai negara yang beragam/bhinneka dan oleh karena itu toleransi dan keterbukaan dalam menerima perbedaan sangat penting?
Organisasi-organisasi keagamaan dapat dan harus melakukan dua hal: Pertama, mereka harus membaharui kesediaan – sumpah setia – pada kontrak kebangsaan, yaitu Pancasila, jadi kesediaan untuk saling menghormati dalam kekhasan dan perbedaan.
Kedua, agar mereka dapat melakukan pembaruan itu mereka perlu menggali keterbukaan dan tuntutan toleransi yang justru diajarkan dalam agama yang mereka akui masing-masing.
Semua agama besar di dunia pada dasarnya menuntut toleransi terhadap mereka yang keyakinan religiusnya berbeda dari para penganutnya.
Terkait dengan berbagai peristiwa yang berkaitan dengan ketegangan antarumat beragama dewasa ini, apa yang terjadi menurut Bapak terhadap prinsip-prinsip kebhinnekaan kita. Apakah betul hal seperti hanya merupakan titik puncak dari sebuah gunung es?
Kesediaan untuk saling menerima dalam kekhasan masing-masing - yang menjadi dasar kesatuan bangsa Indonesia yang majemuk - terancam baik oleh intoleransi maupun oleh ideologi-ideologi agamis puritan-eksklusiv-agresif. Intoleransi memang sudah bercokol dalam hati manusia, intoleransi termasuk ciri-ciri buruk manusia (seperti iri hati, cemburu, mudah benci, mau menang sendiri dan lain sebagainya).
Kita semua selalu harus melawan kecondongan buruk hati kita, kita harus saling memperingati dan negara tidak boleh mengizinkan tindak-tindak intoleransi yang bertentangan dengan hukum dan semangat Pancasila. Tetapi intoleransi menjadi berbahaya betul apabila dipakai oleh ideologi-ideologi yang memang membenci mereka yang berlainan, yang membenarkan kekerasan, yang pada hakekatnya justru menyangkal kesediaan untuk saling menerima padahal kesediaan itulah hakekat Pancasila.
Sikap agresif-jahat itu muncul dengan paling jelas terhadap mereka yang dicap ajaran sesat - seakan-akan mereka tidak sama saja berhak untuk dihormati dalam apa yang mereka yakini, seakan-akan orang lain dapat menetapkan siapa boleh hidup dan siapa tidak, seakan-akan bukan Allah Pencipta yang juga menciptakan mereka.
Kekerasan eksklusif penuh kebencian ini adalah suatu penyangkalan paling mendalam terhadap inti segala keagamaan yang tak lain menuntut agar kita menghormati apa yang ditetapkan oleh Sang Pencipta. Karena itu mereka yang melakukan kekerasan terhadap kelompok orang yang kepercayaannya tidak disetujui pada hakekatnya bersikap ateis karena berlaku seakan-akan tidak ada Allah Pencipta.
Apa yang ingin Bapak pesankan kepada pembaca kami berkaitan dengan upaya untuk memajukan hidup yang berlandaskan penghargaan pada kebhinnekaan?
Harapan di hati saya adalah agar kita bersedia membaharui kesepakatan dasar bangsa kita yang namanya Pancasila, jadi agar kita membaharui tekad untuk saling menerima juga dalam perbedaan.
Orang dengan kepercayaan apa pun akan harus mempertanggungjawabkan diri di hadapan Allah dan hanya di hadapan Allah, dan mari kita sendiri jangan menempatkan diri di tempat Allah karena itu suatu dosa yang sangat besar.
Mari kita jamin bahwa semua saudara-saudari kita merasa aman, terlindung dan dihormati di antara kita dan mari kita bersama membangun kehidupan bangsa yang baik, luhur, sejahtera dan adil di hadapan Allah.
Editor : Eben E. Siadari
Seluruh Pengurus PGI Periode 2024-2029 Dilantik dalam Ibadah...
TORAJA, SATUHARAPAN.COM-Majelis Pekerja Harian (MPH), Badan Pengawas (BP), Majelis Pertimbangan (MP)...