Freddy Numberi Jadi Saksi Kasus Suap Kementerian Perhubungan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Freddy Numberi, mantan Menteri Perhubungan, diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi kasus dugaan tindak pidana korupsi proyek pengadaan pembangunan Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Tahap III Kementerian Perhubungan di Sorong, Papua Barat tahun anggaran 2011, hari Selasa (15/3).
Freddy dianggap oleh penyidik KPK dapat memberikan informasi terkait lelang pengadaan Pembangunan Diklat Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran pada Pusat Pengembangan SDM Perhubungan Laut Badan Pengembangan SDM Kementerian Perhubungan tahun anggaran 2011 di Jakarta dan Sorong.
Freddy Numberi adalah menteri perhubungan pada tahun 2009-2011. Sebelumnya, Freddy menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan pada tahun 2004-2009, dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negera dan Reformasi Birokrasi pada tahun 1999-2000.
Djoko Pramono selaku Kepala Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Laut, dan Bobby yang merupakan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan nonaktif menjadi tersangka dalam pengadaan tersebut. Bobby ketika ditetapkan KPK sebagai tersangka juga sekaligus pimpinan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan (BPSDMP) Kemenhub.
Keduanya diduga melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.
Ketika ditanya oleh awak media mengenai keterkaitan dirinya dengan tersangka, Freddy mengatakan kasus tersebut terjadi ketika ia masih menjabat sebagai menteri. “Iya zaman saya, tapi masalahnya kan bukan langsung saya. Saya cuma konfirmasi saja,” katanya.
Freddy mengaku tidak tahu mengenai adanya fee dalam kasus tersebut.
“Tidak, saya tidak tahu itu,” kata Freddy.
Dalam dakwaan mantan General Manager PT Hutama Karya, Budi Rachmat Kurniawan, dalam kasus yang sama, disebutkan bahwa Budi meminta bantuan Bobby dan Djoko menjabat sebagai Kuasa Pengguna Anggaran dalam proyek tersebut untuk memenangkan PT Hutama Karya dalam proyek tersebut.
Dari peran keduanya, Bobby mendapatkan Rp 480 juta, sedangkan Djoko memperoleh Rp 620 juta dari total kerugian negara seluruhnya Rp 40,193 miliar yang diperoleh dari selisih nilai pekerjaan yang diserahkan kepada subkon (Rp19,462 miliar), kontrak PT Hutama Karya dengan subkontraktor fiktif (Rp10,238 miliar), penggelembungan biaya operasional (Rp7,4 miliar), dan kekurangan volume pekerjaan (Rp3,09 miliar).
Editor : Bayu Probo
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...