FRI-West Papua Serukan Referendum
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-West Papua) menyerukan dan mendukung dilaksanakannya referendum untuk bangsa West Papua. Hal itu disampaikan juru bicara FRI-West Papua, Surya Anta dalam jumpa pers yang digelar di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jalan Pangeran Dipoenogoro, Jakarta Pusat, hari Selasa (29/11).
“Kami menilai bahwa West Papua bukan bagian dari Indonesia. Tidak ada kebahagiaan bagi rakyat dan bangsa West Papua selama menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terlalu banyak masalah yang sampai saat ini merajalela hingga kesemua lini. Genosida masih berlanjut secara sistematis, dan perampokan kekayaan alam yang menghancurkan hajat hidup orang banyak dan kebudayaan Papua,” kata Surya Anta.
Surya mengungkapkan, ada kecurangan dan penipuan dalam sejarah. Tanggal 27 Desember 1949 saat pengakuan kedaulatan NKRI oleh Pemerintah Belanda, West Papua merupakan koloni tak berpemerintah sendiri dan diakui oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan Belanda yang pada saat itu menjadi penguasa administratif kolonialnya.
Rakyat West Papua telah mendeklarasikan kemerdekaannya pada tanggal 1 Desember 1961 yang pada saat itu West Papua telah membentuk Dewan Nieuwgunearaad dan tidak diakui oleh Pemerintah Soekarno karena dinilai sebagai negara boneka buatan Belanda. Sampai akhirnya, Presiden Soekarno melakukan ankesasi terhadap West Papua melalui program yang bernama Trikora (Tiga Komando Rakyat).
Pada tahun 1963, Indonesia mengambil alih tanggung jawab administratif West Papua dengan teritori tetap berstatus koloni tak berpemerintah sendiri karena penentuan nasib sendiri masih dibawah hukum internasional. Hak itu diakui oleh Pemerintah Indonesia dalam New York Agreement yang menguatkan fakta bahwa Indonesia tidak memiliki kedaulatan hukum atas West Papua.
Keberadaan Indonesia di West Papua adalah administrasi kolonial yang bisa bersifat permanen hanya jika rakyat West Papua memilih integrasi dengan menentukan nasibnya sendiri dengan prosedur dalam hukum internasional.
Referendum pernah dilakukan pada tahun 1969 melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) untuk menentukan status daerahnya dinilai tidak sah, karena hanya 1022 orang yang mengikuti pemungutan, sementara ada beberapa tidak terlibat dalam pemungutan atau kurang dari 0,2 persen populasi Papua dan dikondisikan setuju untuk integrasi dengan Indonesia.
Atas realitas yang terjadi di tanah West Papua, FRI-West Papua menilai ada jalan perjuangan yang harus ditempuh dalam pembebasan nasional bangsa West Papua di antaranya, mendukung bangsa dan rakyat West Papua untuk menentukan nasib sendiri melalui mekanisme referendum. Selain itu mendukung United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) di Melanesia Spearhead Group, Pasific Island Forum dan memperjuangkan keanggotaan ULMWP di PBB.
Meminta militer organik dan anorganik ditarik dari West Papua agar referendum dapat berjalan dengan damai, adil dan tanpa tekanan. Serta meminta kebebasan informasi, ekspresi dan berorganisasi bagi rakyat West Papua.
Pernyataan sikap itu disampaikan atas nama sejumlah elemen yang tergabung dalam Fri-West Papua di antaranya, Partai Pembebasan Rakyat, Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia, Pembebasan, Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia dan Lingkar Studi Sosialis serta Perkumpulan Solidaritas Net.
“Kami juga rencananya akan menggelar aksi damai pada tanggal 1 Desember nanti di Jakarta dan beberapa kota di Papua secara serentak untuk menyuarakan hal tersebut,” kata Surya Anta menutup keterangannya.
Editor: Eben E. Siadari
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...