FSP-ILN Minta Presiden Serius Tangani Perdagangan Manusia
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Forum Solidaritas Pekerja Indonesia Luar Negeri (FSP-ILN) mendesak Presiden Republik Indonesia (RI) mendatang agar lebih serius menangani kasus human trafficking (perdagangan manusia) Indonesia, yang kasusnya senantiasa bertambah.
Menurut mereka, hal tersebut, belum termasuk kasus perburuhan nan memiliki indikasi perdagangan manusia seperti pemberian informasi yang tidak benar, pelecehan seksual, dan penganiayaan, dan tidak dibayarkannya gaji.
“Perdagangan manusia saat ini dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Karena itu, semua pihak harus memiliki komitmen untuk berperan aktif dalam upaya untuk pemberantasnya,” ucap Koordinator FSP-ILN, Imam Syafii, melalui siaran pers yang diterima satuharapan.com, Rabu (21/5).
Imam menyayangkan tidak ada pihak, termasuk pemerintah, yang serius menangani masalah perdagangan manusia terutama para ABK (Anak Buah Kapal) nan ditelantarkan sebagai korban selama berbulan-bulan, terkatung di lautan, dieksploitasi dengan jam kerja selama 22 jam, hingga kerja tanpa upah bayaran.
Koordinator FSP-ILN tersebut pun membagi tugas yang harus diselesaikan Presiden RI mendatang mengenai perdagangan manusia Indonesia ke dalam sepuluh poin, yakni
Pertama, menyeselesaikan kasus 203 ABK yang telah menjadi korban perbudakan dan perdagangan manusia di Trinidad and Tobago, pada 2012 silam. Hingga saat ini, kasus tersebut tidak jelas penyelesaiannya.
Kedua, mengirim Tim khusus ke Trinidad and Tobago guna secepatnya mengurus dan melelang kapal-kapal untuk membayar gaji kami yang belum terbayar.
Ketiga, menunjuk pengacara di Taiwan untuk menuntut PT Kwo Jeng Trading Ltd, atas perbuatannya yang telah memperbudak dan menelantarkan 203 Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja sebagai ABK.
Keempat, meratifikasi konvensi perlindungan buruh maritim yang tergabung dalam organisasi Maritime Labour Conventionv (MLC) 2006, demi meningkatkan kesejahteraan pelaut.
Kelima, memberi hukuman yang berat pada Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang melakukan perekrutan ABK tidak sesuai dengan prosedur.
Keenam, mewajibkan PJTKI memberi kompensasi dan restitusi bagi korban perdagangan manusia.
Ketujuh, tidak menjadikan kasus Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sebagai bahan pencitraan, tanpa memberi penyelesaian yang jelas.
Kedelapan, mewajibkan PJTKI yang merekrut dan mengirim ABK ke luar negeri memiliki dua ijin, yakni ijin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) dan ijin Keagenan Awak Kapal.
Kesembilan, membuat undang-undang yang jelas perihal ABK dan menghentikan penempatan ABK tanpa negara.
Terakhir, gaji ABK harus sesuai dan mengikuti aturan negara penempatannya, serta waktu berlayar paling lama hanya selama enam bulan. (PR).
Editor : Bayu Probo
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...