Gema Demokrasi: Demokrasi Harus Direbut dari Militerisme
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – “Adanya konsolidasi 'politik lama' untuk kembali merupakan ancaman demokrasi yang sesungguhnya. Oleh karena itu, demokrasi harus direbut dari ancaman militerisme seperti pada Orde Baru yang kini semakin marak terjadi,” kata Bahrain, Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), hari Kamis (12/5), dalam Konferensi Pers Pelanggaran Hak Berekspresi, Berkumpul, dan Berpendapat, di gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Bahrain yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi (Gema Demokrasi)---yang menaungi organisasi aktivis HAM di Indonesia---melihat adanya potensi runtuhnya Indonesia sebagai negara hukum dan demokrasi jika melihat pasifnya negara dalam menangani pelanggaran-pelanggaran hak berekspresi, berkumpul, dan berpendapat yang dilakukan oleh oknum militer (militerisme).
“Apabila persoalan ini tidak diselesaikan, maka demonstrasi akan runtuh. Banyak aspek dalam demokrasi dan HAM yang akhir-akhir ini cenderung mengalami defisit dalam isu-isu kebebasan. Pembubaran kegiatan diskusi, pelarangan terhadap kebebasan berpikir, dan pengekangan kebebasan berorganisasi semakin meningkat. Ini menjadi kondisi paradoks di tengah proses demokrasi di Indonesia,” kata Bahrain.
Kondisi ini, dikatakan oleh Bahrain, berkorelasi dengan semakin meningkatnya peran-peran instrumen represi di Indonesia oleh tentara dalam semua aspek, tak hanya dalam ranah sipil, tapi juga dalam ranah keamanan dalam negeri.
“Tentara semakin banyak terlibat dalam keamanan dalam negeri, seperti penanganan demonstrasi buruh, penggusuran, pengamanan fasilitas publik (stasiun), pemberedalan dan penangkapan dalam isu komunisme, dan sebagainya,” ujar Bahrain.
Selain itu, peran tentara meningkat dalam konteks trend legislasi.
“Ada amanat reformasi tahun 1998 untuk mendorong tentara ke barat, yang artinya tentara hanya boleh mengurusi urusan pertahanan dan tidak boleh berpolitik. Namun, ternyata yang terjadi saat ini, tentara justru melakukan yang bertentangan dengan fungsi utamanya tersebut dan juga terlebih sudah melanggar kebebasan berekspresi warga sipil dengan menstigmatisasi aktivis dan gerakan rakyat yang sebenarnya bekerja untuk demokrasi sebagai penyebar paham komunisme/marxisme/leninisme. Tentara dalam legislasi membangun MOU dengan institusi polisi dan perusahaan mengenai keamanan, serta memberikan klausul RUU terorisme dan revisi UU narkotika,” ujar Bahrain.
Ada upaya tentara untuk kembali mendapatkan perannya seperti masa lalu, sehingga demokrasi yang ada dianggap terancam akan kembali menjadi zaman Orde Baru.
“Mereka masih terjebak masa lalu, yaitu dwifungsi ABRI, dimana dulu polisi berada di bawah ABRI dan ABRI berhak melakukan penangkapan, penyitaan, dan penahanan. Mereka tidak memahami situasi sebenarnya dan kerangka hukum yang ada. Tidak ada kekompakan dalam pemerintahan. Demokrasi kita menjadi mundur ke Orde Baru dan militerisme semakin menguat,” kata Lintang, perwakilan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam).
Lintang memandang ini akan menjadi pintu gerbang terhadap terjadinya pelanggaran HAM lainnya.
“Tentara melampaui wewenangnya untuk kemudian ikut campur dalam urusan sipil. Ini menjadi pintu gerbang untuk pelanggaran HAM yang lain,” katanya.
Dalam konferensi pers tersebut, dijelaskan bahwa apa yang disebut dengan paham komunis/marxisme/leninisme bukan seperti apa yang dilakukan oleh aktivis HAM maupun orang-orang tak bersalah yang ditangkap hanya karena ingin berekspresi.
“Dalam UU nomer 27 tahun 1999 yang merupakan pembaruan dari pasal-pasal keamanan di KUHP dan dalam UU nomer 27 tahun 1999 dari TAP MPRS nomer 25 tahun 1966, bahwa yang dimaksud dengan paham komunis/marxisme/leninisme adalah ajaran-ajaran yang bertentangan dengan falsafah Pancasila. Padahal, apa yang dilakukan aktivis maupun yang ditangkap sama sekali tidak melanggar falsafah Pancasila,” ujar Pratiwi Febri, perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Lintang mengatakan acara bedah buku dan pemutaran film yang berkaitan dengan sejarah kelam Indonesia adalah bagian dari upaya rekonsiliasi untuk mengetahui kebenaran, bahwa penyelesaian pelanggaran masa lalu tidak hanya mengenai korban.
“Warga negara berhak tahu sejarah yang sebenarnya terjadi di negara ini seperti apa. Tindakan-tindakan yang dilakukan militer untuk melakukan pembubaran-pembubaran atau perampasan atribut-atribut yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai negara itu merupakan bagian dari upaya penggagalan penyelesaian pelanggaran masa lalu, sehingga menjadi penting untuk melakukan perlawanan terhadap segala bentuk pengancaman kebebasan berekspresi adalah agar pola-pola atau rantai impunitas kekerasan di zaman Orde Baru dapat diputuskan,” ujar Lintang.
Dijelaskan di dalam konferensi pers tersebut, yang berhak melakukan penangkapan, penyitaan, pelarangan, dan penahanan terhadap warga sipil hanyalah kepolisian dengan menurut pada KHUP dan peraturan Kapolri tentang pedoman implementasi prinsip-prinsip hak asasi manusia.
“Itu harus dilakukan sesuai hukum yang berlaku, bukan berdasarkan isu, perintah, dan asumsi semata," ia menambahkan.
Editor : Bayu Probo
Cara Merawat Kulit Bayi Menurut Dokter
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dokter spesialis kulit dari Rumah Sakit Polri Said Soekanto Jakarta memba...