Gema Demokrasi: Langgar Hak Berekspresi Tutupi Tragedi 1965
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi (Gema Demokrasi) melihat semakin maraknya pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat akhir-akhir ini merupakan cara sistematis guna menutupi isu penuntasan Tragedi 1965.
Hal ini dikatakan oleh Alghiffari Aqsa, Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, dalam kesempatan konferensi pers di gedung LBH Jakarta, hari Kamis (12/5). “Ini akan menutupi perjuangan penuntasan tragedi 1965,” katanya.
Aqsa mengatakan dalam gejala sosial dan politik saat ini banyak pihak yang menentang penuntasan Tragedi 1965 secara sistematis.
“Saat ini banyak pihak yang tidak suka dengan penuntasan Tragedi 65. Pihak-pihak yang tidak senang terhadap pelurusan sejarah bahwa telah terjadi pembantaian pada sekitar satu juta orang Indonesia oleh tentara dan juga oleh pelaku-pelaku pelanggar HAM yang melibatkan berbagai organisasi masyarakat. Itu sangat sistematis melalui media sosial maupun pesan berantai. Ini menjadi satu rangkaian atau gerakan secara sistematis untuk menggagalkan penuntasan kasus 65,” ujar Aqsa.
Telah terjadi turunan pelanggaran dari masa Orde Baru (Orba) yang mengancam reformasi di Indonesia saat ini.
“Bahwa kemudian ada pelanggaran-pelanggaran lain itu menjadi turunan pelanggaran. Indonesia putar balik ke masa Orba. Suasana-suasana seperti Orba kembali hadir di tengah peringatan reformasi saat ini,” tuturnya.
Gema Demokrasi yang merupakan gabungan dari organisasi sipil seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), dan lain-lain sepakat bahwa militerisme kembali menguat di Indonesia.
“Kita juga melihat menguatnya kembali militerisme di Indonesia. Militer kemudian keluar dari batasnya untuk melakukan hal-hal di luar tanggung jawabnya, ada kesewenang-wenangan, dan ada penangkapan terhadap aktivis atau pun orang-orang yang menggunakan logo-logo atau pun yang sedang mempraktikan kebebasannya untuk berekspresi. Tentara tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penangkapan dan juga penahanan terlebih yang dilakukan kepada orang-orang yang berekspresi. Aparat militer juga tidak boleh melakukan sweeping terhadap buku-buku sejarah, karena sudah diatur oleh Mahkamah Konstitusi,” kata Aqsa.
Menurutnya, militer merasa takut dengan adanya kebebasan berekspresi karena akan mampu membantu pengungkapan tragedi-tragedi pelanggaran HAM masa lalu yang dilakukan oknum polisi maupun tentara. “Militer terlalu takut dengan simbol-simbol yang padahal hanya sebagai kebebasan berekspresi.”
Gema Demokrasi menghimbau agar oknum militer maupun polisi sebagai penegak hukum menaati hukum yang berlaku di Indonesia yang kesemuanya mengandung prinsip HAM.
“Kami menghimbau mereka taat terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan juga pedoman yang ada bahwa semuanya harus sesuai prinsip HAM. Mereka melakukan penangkapan dan penyitaan harus ada dasarnya, tapi itu tidak dilakukan oleh aparat kepolisian maupun militer,” ujar Aqsa.
Mereka menilai apa yang tengah dilakukan aparat tersebut merupakan tindakan yang tidak berdasarkan kaidah dan aturan hukum di Indonesia.
“Yang dilakukan pihak kepolisian saat ini hanya tindakan brutal semata, tidak ada dasar hukumnya. Menjadi tindakan yang sporadis,” katanya.
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) secara gamblang memuat bahwa kebebasan dalam berekspresi merupakan hak fundamental setiap orang.
“PBB juga mengatakan kebebasan menyampaikan pendapat, berkumpul, dan berekspresi adalah hak yang fundamental. Itu tidak bisa dikurangi dan menjadi kunci untuk pemenuhan hak-hak lain. Stigma pelanggaran kebebasan berekspresi melahirkan pelanggaran hak yang lain,” tuturnya.
Gema Demokrasi menyoroti tindakan melanggar hukum konstitusi oleh militer.
“Pada tahun 2010 Mahkamah Konstitusi memutuskan dalam penyitaan atau pelarangan buku harus melalui pengadilan guna menentukan buku tersebut terlarang atau tidak. Namun, keputusan Mahkamah Konstitusi itu lalu diinjak-injak tentara dan kepolisian dengan melakukan penyitaan buku-buku beberapa waktu lalu. Dan parahnya dengan bangga mereka menunjukkan kepada publik melalui media,” ujar Aqsa sambil menunjukkan foto aparat militer yang sedang berfoto dengan buku-buku hasil sitaan mereka. Buku-buku tersebut dianggap mereka mengandung muatan ajaran komunisme sehingga harus disita.
Gema Demokrasi menemukan sebanyak 41 kali diabaikannya hak sipil atau pelanggaran atas hak berkumpul, berpendapat, serta berekspresi oleh polisi dan tentara sejak bulan Januari 2015 hingga bulan Mei 2016 dalam bentuk pelarangan, intimidasi, pembubaran paksa, penangkapan sewenang-wenang, pembredelan, pencekalan, dan lain-lain.
Mereka mencontohkan kasus pelanggaran terbaru adalah penangkapan Aktivis Literasi, Adlun Fiqri, dan Aktivis Lingkungan, Supriyadi Sawai, dari Ternate, Maluku Utara, yang ditangkap oleh empat Intel Kodim 1501 Ternate hanya karena memakai kaos bertuliskan Pecinta Kopi Indonesia.
“Penangkapan tersebut seperti penangkapan-penangkapan lainnya yang dicap sebagai bagian menangkap komunis sebenarnya adalah bentuk teror dan penyebaran ketakutan yang diciptakan agar warga bereaksi negatif pada para aktivis, gerakan rakyat, dan kelompok minoritas, sehingga menguburkan upaya penyelesaian persoalan masa lalu Indonesia tahun 1965-1966 dan banyak pelanggaran HAM lainnya,” kata Aqsa.
Editor : Bayu Probo
KPK Tetapkan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, Tersangka Kasus...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sekretaris Jenderal PDI Perju...