Generasi Muda Antariman Praktikkan Interaksi dan Toleransi
BOSSEY, SATUHARAPAN.COM – Generasi muda dari berbagai negara dan antariman berhasil merampungkan program khusus "Advanced Studies in Interreligious Studies". Pelatihan tersebut merefleksikan kekuatan dari suatu percampuran budaya, keberagaman komunitas dan tradisi iman, di dalam suatu interaksi yang penuh keterbukaan dan rasa percaya.
Situs resmi Dewan Gereja Dunia (World Council of Churches/WCC), oikoumene.org, pada hari Selasa (23/8), menyebutkan program tersebut diselenggarakan di Ecumenical Institute, Bossey, Swiss.
Peserta yang pemeluk Yahudi asal Inggris, Elliot Steinberg, menuturkan tertarik mengikuti pelatihan tersebut karena berharap mendapatkan pengalaman menarik bertemu dengan berbagai orang dari latar belakang budaya dan komunitas berbeda.
Steinberg, yang sehari-hari bekerja di Council of Christian and Jews di Inggris, berharap dapat menerapkan apa yang sudah ia alami dan pelajari dalam program tersebut dalam pekerjaan kesehariannya agar dapat memberikan pelayanan lebih baik.
Tak jauh berbeda, Antony Abi Awad, pemeluk Katolik asal Lebanon, juga berharap dapat menerapkan ajaran antariman dan pokok-pokok toleransi yang ia peroleh dalam program itu, saat menjadi imam Katolik kelak.
Setiap hari, Awad bekerja sebagai relawan di badan amal Kristen di Lebanon. Lebanon, menurut pendapatnya adalah negara yang memiliki kemajemukan agama. “Namun, lembaga yang bergerak dalam kegiatan interaksi antara berbagai agama terbatas,” kata Awad.
Kegiatan pelatihan di Bossey itu diikuti 17 profesional muda, berlangsung enam pekan. Generasi muda dalam rentang usia antara 20-35 tahun itu, terdiri atas enam pemuda Kristen, lima orang Yahudi, dan enam Muslim, sembilan perempuan dan delapan laki-laki.
Sajida Mohammed, peserta pelatihan beragama Islam asal Nigeria, mengaku mengikuti kursus tersebut bukan untuk kepentingan studi, namun dia melihat studi tentang antariman dapat ditingkatkan menjadi bagian dalam kariernya.
Sajida Mohammed mengatakan selama mengikuti kursus tersebut ia menemukan interaksi personal yang sangat bermanfaat dan merangsang. “Saya menganggap dalam interaksi lebih banyak diskusi yang berbasis antariman dan mengaitkan dengan situasi terkini,” kata Mohammed.
Hal yang paling penting, kata Mohammed, yakni dalam sisi interaksi personal dari setiap peserta. “Saat ini tidak diragukan lagi, karena dalam acara yang berbasis diskusi tersebut, kami semua berbaik sangka dan tidak ada prasangka buruk satu sama lain,” kata Mohammed
Pendapat tersebut sejalan dengan Steinberg yang menyatakan pentingnya interaksi personal, dan setelah mengikuti acara tersebut setiap peserta masih tetap menjalin komunikasi dan tetap terhubung. “Itu adalah hal yang paling kuat,” kata Steinberg.
Ketiga siswa, Elliot Steinberg, Sajida Mohammed, Antony Abi Awad, memiliki kesimpulan yang sama tentang kursus tersebut karena mereka mengetahui setiap agama memiliki pendekatan yang hampir mirip terhadap banyak masalah. (oikoumene.org)
Editor : Sotyati
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...