Genosida Armenia, Turki Minta Maaf, Tapi Menolak Mengakui
ANKARA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Turki mengeluarkan pernyataan mengungakpakn bela sungkawa, hari Selasa (21/4) sebelum peringatan seratus tahun pembunuhan massal dan deportasi terhadap warga Armenia di bawah kekuasaan Ottoman yang dikenal sebagai genopsida Armenia.
Namun pernyataan itu, dianggap oleh warga Armenia diaspora sebagai "permintaan maaf palsu," seperti dilaporkan situs berita Turki, Todays Zaman.
Sebelumnya Parlem,en Eropa telah mengeluarkan resolusi yang menyatakan pembantaian pada April 1915 itu sebagai genosida, dan mendesak Turki untuk mengakui dan meminta maaf, serta mendorong pemulihan hubungan dengan Armenia.
Namun Turki tetap menolak seperti diungkapkan Presiden Recep Tayyip Erdogan, dan Perdana menteri Ahmet Davutoglu, juga menolak hal itu. Sebelumnya Paus Fransiskus menyebutkan pembantaian di Turki itu sebagai genosida pertama abad ke-20. Dan Davutoglu menyerang Paus dengan menyebut Paus bergabung dalam konspirasi jahat.
Pernyataan pemerintah Turki disampaikan Perdana Menteri Ahmet Davutoglu tiga hari sebelum peringatan pada 24 April di Armenia dan di seluruh dunia. Pernyataan itu disebut sebagai upaya sia-sia mengalihkan perhatian. Nasional Komite Armenia Amerika (ANCA) mengatakan pernyataan Davutoglu yang mengungkapkan bela sungkawa adalah pernyataannya "permintaan maaf palsu."
Tahun lalu, pada 23 April, Perdana Menteri Turki, ketika itu Recep Tayyip Erdogan, mengeluarkan pernyataan menawarkan perdamaian dengan keturunan Armenia yang menjadi korban Ottoman. Ini yang pertama dalam sejarah Republik Turki, dan pernyataan itu menimbulkan banyak pertanyaan. Itu merupakan usaha yang gagal untuk menghindari pengakuan peristiwa 1915 sebagai "genosida."
Baca Juga:
Mengalihkan Perhatian
Tahun ini upaya mengalihkan perhatian peringatan seratus tahun Genosida Armenia dilakukan dengan mengundang sejumlah pemimpin dunia tahun ini, termasuk Presiden Rusia Vladimir Putin, dengan perayaan Perang Gallipoli pada Perang Dunia I. Meskipun pertempuran yang dikenal sebagai Canakkale itu terjadi pada 18 Maret, perayaan dilakukan pada 24-25 April mendatang.
Atas sikap Paus dan Parlemen Eropa, Presiden Erdogan mengancam akan mendeportasi sekitar 100.000 orang Armenia yang tinggal dan bekerja secara ilegal di Turki.
DavutoÄlu mengatakan di depan publik bahwa Turki berbagi rasa sakit dengan warga Armenia, dan dia juga mengumumkan bahwa akan diadakan upacara untuk menghormati para korban di Istanbul.
Namun Davutoglu mengkritik tekanan internasional terhadap Turki untuk mengakui peristiwa 1915 sebagai genosida. Dia mengatakan, "Untuk mengurangi segala sesuatu demi satu kata, memikul semua tanggung jawab atas bangsa Turki... dan menggabungkan hal ini dengan wacana kebencian secara hukum dan masalah moral."
"Kami sekali lagi hormat dan mengingat Armenia Ottoman yang kehilangan nyawa mereka selama deportasi 1915 dan berbagi rasa sakit pada anak-anak dan cucu mereka," kata Davutoglu menegaskan.
Mogok Makan 100 Hari
Sebanyakl 30 orang warga Assyria di Turki mogok makan 100 hari dalam peringatan 100 tahun Genosida oleh Ottoman, termasuk terhadap warga Assyria. mereka menuntut pengakuan terjadinya genosida. (Foto: dari ankawa.com)
Sementara itu, sejak Senin (20/4) warga masyarakat Aram (Assyria) di Turki mulai menjalani tidak makan selama 100 jam. Federasi Asosiasi Syria (SÜDEF) di kota Midyat, di wilayah tenggara, melakukan itu untuk menarik perhatian pada peringatan 100 tahun pembantaian Ottoman terhadap warga Assyria pada tahun 1915.
Hampir 30 orang yang mengambil bagian dalam aksi mogok makan, selama empat hari lebih dan dimaksudkan untuk pengakuan apa yang mereka sebut sebagai "Sayfo", pembantaian terhadap warga Assyria sebagai genosida.
"'Sayfo' berlangsung di tanah ini. Di tanah ini, ada genosida yang dilakukan terhadap kami. Alasan terbesar mengapa kami tidak lagi ada di negeri ini adalah karena Sayfo. Ini merupakan pukulan yang mengerikan bagi semua orang Kristen. Ada utang yang harus dibayar untuk mengingat nenek moyang kita. Ini adalah masalah hati nurani, dan ada kebutuhan untuk menanggapi masa lalu. Orang perlu mengakhiri penolakan. Sekarang saatnya untuk menghadapi (Sayfo), kata Presiden SÜDEF, Ergil Türker menyatakan kepada koran mingguan Agos, seperti dikutip ankawa.com.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...