Laporan Masyarakat Sipil Jadi Basis Penting Kerja Komnas HAM
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Menanggapi praktik mekanisme hak asasi Manusia (HAM) Asia Tenggara (ASEAN), Roichatul Aswidah, Anggota Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Indonesia, mengatakan pentingnya membuka komunikasi dan keterbukaan terhadap laporan masyarakat sipil dan menjalin hubungan kerja sama dengan komnas lainnya.
Hal tersebut disampaikan dalam acara debat publik yang diselenggarakan oleh Wakil Indonesia untuk Asean Intergovermental Commission on Human Rights (AICHR) bersama Kedutaan Besar Kerjaan Belanda untuk Indonesia, di Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis, Jakarta, Selasa (21/4).
Dalam pembicaraan tersebut, Roichatul menceritakan perjuangan generasi pertama Komnas HAM di Indonesia. “Ketika Komnas HAM berdiri, uang tidak ada, tidak ada orang, dan tidak ada kantor. Yang dilakukan oleh orang-orang generasi pertama Komnas HAM adalah keberanian, niat baik, dan bekerja dengan seluruh masyarakat sipil dan kekuatan yang ada,” ujarnya.
Pada saat itu, lanjutnya, laporan masyarakat sipil menjadi modal dasar yang membuat Komnas HAM bekerja. Terkait kasus Mei 1998, modal Komnas HAM juga berasal dari masyarakat sipil dan peran pers. Pers menjadi rekan kerja lembaga tersebut.
Lembaga ini berdiri pada 1993 melalui Keputusan Presiden (Keppres) nomor 50 Tahun 1993 tentang Komnas HAM. Komnas HAM memungkinkan untuk menyebarluaskan wawasan aksi manusia, melakukan penyidikkan, pemantauan, laporan, dan memberikan rekomendasi tentang persoalan-persoalan hak asasi manusia.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, Roichatul menuturkan bahwa publik tidak yakin Komnas HAM bisa bekerja. Namun, ternyata melalui tekad keberanian, para anggota saat itu bisa mendapat kepercayaan publik dan menunjukkan independensinya. “Anggota komnas bisa menghidupi keppres, dan keppres tersebut akhirnya menjadi dokumen hidup dan menghidupi Komnas HAM.”
Perempuan asal Temanggung, Jawa Tengah, ini mengajak AICHR, badan HAM ASEAN, untuk menggunakan modal masyarakat sipil di Asia Tenggara sebagai dasar untuk bekerja. Ia menilai, masyarakat di Filipina, Indonesia, dan Thailand sangat berani bersuara. “Itu jadi modal,” katanya.
AICHR dan Kasus Benjina
AICHR merupakan komisi antarpemerintah ASEAN untuk urusan HAM yang disepakati pada 2009 oleh para Menteri Luar Negeri ASEAN. Banyaknya kasus perdagangan manusia di kawasan asia tenggara menjadi alasan dibentuknya AICHR.
Sebagai lembaga antarpemerintah, AICHR mengingkari salah satu prinsip utama ASEAN, yakni tidak mencampuri urusan dalam negeri atau no interference. Namun, untuk kasus Benjina, rasanya prinsip ini perlu dikaji ulang.
Roichatul bercerita bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, telah meminta Komnas HAM untuk menyelidiki kasus Benjina. Komnas HAM menemukan bahwa seluruh anak buah kapal (ABK) berasal dari Thailand. Para korban berasal dari Myanmar, Thailand, dan Kamboja. “Kasus tersebut ada di depan mata dan Komnas HAM tidak bisa bekerja sendiri,” kata perempuan kelahiran 1970 ini.
Ia melanjutkan, pihaknya sudah menghubungi komnas HAM di Thailand dan Myanmar. Namun, bagaimana bila ada negara yang tidak memilki komnas HAM, dengan siapa mereka bisa bekerja sama menuntaskan kasus HAM lainnya.
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...