Gerardette Gabungkan Kung dan Nasr demi Melampaui Pluralisme
SATUHARAPAN.COM – Seorang Suster dari Konggregasi Hati Kudus Yesus (Religieuses du Sacre-Coeur de Jesus/RSCJ) Indonesia, Gerardette Philips, mencoba memberikan perspektif baru tentang pengelolaan hubungan antaragama Islam dan Kristen di Indonesia. Perspektif itu merupakan penggabungan model pendekatan global hasil pemikiran Hans Kung dan filsafat perenial milik Seyyed Hossein Nasr yang disebut integritas terbuka.
Ulasan perspektif tersebut coba dituangkan Gerardette dalam sebuah buku yang diterbitkan Madan dan resmi diluncurkan di Kantor Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP), Jalan Cempaka Putih Barat XXI No. 34, Jakarta Pusat, hari Jumat (15/4) malam lalu, dengan judul ‘MELAMPAUI PLURALISME’.
Dalam pengantar bukunya, Gerardette menuliskan bahwa berdasarkan analisis mendalam, tiga pendekatan dialog antaragama, yakni ekslusivisme, inklusivisme, dan pluralisme, belum membuahkan hasil kerja sama antarapemeluk agama Islam dan Kristen yang maksimal.
Menurutnya, meskipun pluralisme telah berhasil membuat teroboson dibandingkan eksklusivisme dan inklusivisme, namun tetap saja ada beberapa bahaya yang timbul. Misalnya, Gerardette mencontohkan, pluralisme tidak memandang serius identitas dan klaim kebenaran agama seseorang.
Kemudian, dia melanjutkan, kemungkinan berkembangnya sinkretisme dalam beragama akibat pahamnya yang menyamakan agama-agama, juga tidak dipandang serius dalam pluralisme.
“Buku ini mengeksplorasi pemikiran yang melampaui pluralisme dengan menggunakan pencerahan dan pemikiran filsafat dan teologi Hans Kung dan Seyyed Hossein Nasr, dua tokoh besar pemikiran agama di lingkungan Islam dan Kristen,” kata Gerardette dalam bukunya.
Pluralisme Cacat
Dalam satu bagian bukunya, Gerardette menuliskan bahwa pluralisme secara metodologis cacat. Karena, dalam upaya untuk menemukan apa yang umum bagi semua agama, orang pluralis dipaksa untuk mengabaikan secara serius unsur-unsur penting dari agamanya. Hal-hal ini, seperti Trinitas bagi umat Kristen atau nubuat Muhammad bagi pemeluk agama Islam, secara rutin disepelekan dan dipandang sebagai tambahan yang tidak perlu.
“Mungkin bahaya tersebut bisa tidak mempertimbangkan secara cukup serius identitas seseorang sendiri di tengah-tengah keberagaman,” ucap sosok yang juga menjadi dosen di Fakultas Filsafat Univesitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Selanjutnya, Gerardette juga menyampaikan pluralisme secara logis tidak mungkin. Menurutnya, semua agama memiliki klaim kebenaran eksklusif dan memprioritaskan pemahaman mereka atas agama yang lain.
Integritas Terbuka
Terkait integritas terbuka, Gerardette dalam salah satu bagian bukunya itu mengawali dengan merangkum sejumlah poin penting yang berhubungan dengan ekslusivisme, inklusivisme, dan pluralisme.
Eksklusivisme keagamaan menyatakan bahwa hanya satu agama dunia adalah benar dan semua agama lain keliru. Inklusivisme menegaskan bahwa hanya satu agama dunia yang sepenuhnya benar dan yang lain mengandung beberapa kebenaran dari agama yang sepenuhnya benar tersebut.
Sementara pluralisme keagamaan menegaskan bahwa pada akhirnya semua agama dunia benar, masing-masing hanya menawarkan jalan keselamatan yang berbeda dan perspektif parsial pada realitas tansenden yang tunggal.
Oleh karena itu, menurutnya, untuk menghindari tiga pendekatan yang tidak memadai itu, sebuah pendekatan yang lebih layak dan menjanjikan adalah menjadi terbuka pada kemungkinan bahwa sebuah klaim kebenaran tertentu mungkin mengartikulasikan suatu isu tertentu secara lebih baik, dibanding klaim kebenaran pesaing.
Editor : Eben E. Siadari
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...