Gereja Boros untuk Perayaan, Bagaimana Peduli Kemiskinan?
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pendeta Kuntadi Sumadikarya (GKI Sinwil Jabar, Oikotree Global Forum) mengkritisi gereja yang selama ini gereja rajin menghimpun dana di setiap peribadatannya tiap minggu, kebanyakan untuk keperluan perayaan ibadah gereja dan bangun gedung. Kita perlu mempertanyakan lagi, apakah gereja pernah betul-betul menghimpun dana untuk kemiskinan dan kemanusiaan?
“Gereja itu kerjaannya hanya bangun gedung gereja. Saya pernah bertanya, gereja rela menggalang dana dan mengeluarkan dana Rp 5 miliar untuk membangun gedung gereja yang hanya dipakai seminggu sekali, tapi tidak pernah menggalang dana lima miliar untuk kemiskinan. Gereja suka khotbah tentang kemiskinan tetapi gerejanya sendiri bergelimang kekayaan,” ungkap Kuntadi dalam Diskusi Gerakan Oikotree Indonesia, di BPK Gunung Mulia, Kwitang, Jakarta Pusat, Jumat (20/6).
Gereja telah direkomendasikan untuk bekerja sama, maka advokasi harus ditekankan dalam setiap program-program gereja, supaya menjamin integrasi dari pendanaannya. Akan tetapi, kalau gereja-gereja di Indonesia dimintai dana untuk advokasi justru berpendapat tidak penting dan tidak konkrit. Lantaran menurut pandangan kebanyakan gereja, keperluan untuk perayaan natal jauh lebih penting daripada membayar untuk advokasi.
“Sangat sulit menghimpun dana dari gereja untuk advokasi. Pada seminar lalu saya sudah tuliskan di makalah, banyak gereja yang mengaku miskin padahal kaya, misalnya pada saat pelantikan pendeta untuk satu sinode saja sampai menghabiskan dana Rp 350 juta, kegiatannya hanya berkumpul dan makan-makan saja,” papar Kuntadi menyesalkan.
Terlebih gereja Katolik di Indonesia maupun di seluruh dunia, Gereja Vatikan–gereja yang paling kaya di dunia, dan lembaga-lembaga Kristen kita merupakan mesin pencetak uang. Bahkan, gereja-gereja di luar negeri punya saham di perusahaan global.
Kuntadi mengaku baru memposting kabar tersebut, bahwa ada sebuah gereja di luar negeri baru saja menarik sahamnya dari perusahaan minyak dunia sebagai protes terhadap kerusakan dan kehancuran terhadap lingkungan.
Di sidang raya World Council of Churches (WCC) di Busan beberapa waktu lalu (30 Oktober-8 November 2013), Kuntadi mengaku berdampingan dengan Profesor Carlos Larrea dari negara Ekuador. Larrea dia katakan punya teori, kalau orang kaya di dunia merelakan 18 persen saja dari kekayaannya, maka kemiskinan di dunia dapat dilenyapkan.
“Mungkin kita perlu mengundang dia (Prof. Larrea, Red) untuk berbicara di Indonesia, khususnya di dalam forum yang dihadiri para ekonom Indonesia tentang bagaimana caranya, bahkan kalau orang kaya mau sekalipun, karena tentunya tidak hanya sekedar bagi-bagi uang,” tutur dia.
Lebih lanjut Kuntadi mengemukanan, penyebab kemiskinan sudah berakar di dalam sejarah, antara lain pemerintahan yang buruk, bencana alam, kualitas mental personal di dalam masyarakat, kurangnya penghasilan sedangkan harga terus naik, praktik kebudayaan.
Dalam praktik kebudayaan ini, dia mengumpamakan contohnya seperti kita ketahui budaya di Batak (maaf) hanya menghamburkan uang untuk biaya penguburan orang mati, atau di Toraja juga sama, dan itu menimbulkan kemiskinan juga.
Bahkan ekonomi global dengan kebijakan neoliberal dan sistem perdagangan yang tidak setara juga patut dipersalahkan sebagai biang keladi kemiskinan, termasuk perusahaan asing Freeport mengangkut kekayaan alam Indonesia terlalu banyak daripada yang masuk ke Indonesia.
Pengajaran gereja beraneka ragam dan membingungkan umat. Pertama, ajaran spiritualisasi yang mengabaikan isu sosial, dan membiarkan bahkan menerima kemiskinan. Kedua, kemakmuran dianggap reward (ganjaran) dari iman, siapa yang dekat dengan Tuhan dia akan kaya, dan biasanya pendetanya lebih kaya lagi.
Dalam upaya menangkal kemiskinan dan keserakahan, harus berfokus terhadap kemakmuran yang berlebihan, dalam arti keserakahan yang mesti disorot. Gereja juga harus mendefinisikan garis keserakahan (greed line) untuk mendampingi garis kemiskinan. Kalau garis kemiskinan sudah sering dipakai di Indonesia, namu istilah garis keserakahan sepertinya masih menjadi barang baru di Indonesia.
Gereja perlu mengkritisi dan memproporsionalkan garis keserakahan dari penggambaran injil ke dalam praktik hidup Kristiani yang konkrit dan kontemporer.
Mengapa kalau berbelanja ke supermarket yang pemiliknya adalah orang kaya, kita tidak menawar? Sedangkan kalau belanja ke pasar atau PKL, padahal yang berjualan orang-orang miskin, kita menawar?
Tuhan menginginkan keadilan lebih daripada perayaan, ibadah, persembahan, nyanyian (Amsal 5). Ini semua adalah ketidakadilan yang patut kita renungkan bersama, tutup Kuntadi.
Editor : Bayu Probo
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...