Gereja di Dunia Diharap Lawan Stigma Buruk OHIDA
TRONDHEIM, SATUHARAPAN.COM – Gereja di setiap negara di dunia diharapkan terlibat di tingkat akar rumput terhadap stigma buruk terhadap Orang yang Hidup dengan AIDS (OHIDA).
Di sisi lain gereja harus melakukan sosialisasi pencegahan HIV (human immunodeficiency virus) yang menyebabkan AIDS (acquired immune deficiency syndrome).
Sekretaris Jenderal Asosiasi dari Dewan Gereja Dunia, Isabel Apawo Phiri, mengatakan di situs resmi Dewan Gereja Dunia, hari Kamis (30/6) oikoumene.org, bahwa saat ini banyak orang di berbagai negara yang berjuang melawan stigma karena HIV, dan Dewan Gereja Dunia menyadari kondisi tersebut bersifat urgen dan perjuangan tersebut harus mendapat dukungan gereja dan negara.
Dalam data Dewan Gereja Dunia, lebih kurang dua juta orang di dunia dinyatakan positif HIV dan banyak dari mereka yang terinfeksi bahkan tidak menyadari bahwa mereka positif HIV.
Apawo Phiri menambahkan dalam pertemuan komite sentral Dewan Gereja Dunia yang berlangsung 22-28 Juni 2016, Dewan Gereja Dunia akan mengawal isu tersebut.
Dia mencatat di tempat tinggalnya, Malawi, dia dan keluarga dekatnya melihat bahwa penyakit tersebut distigmatisasi oleh masyarakat.
Apawo Phiri dan panelis komite sentral Dewan Gereja Dunia lainnya menekankan HIV dan AIDS adalah kondisi medis, bukan kondisi moral.
Apawo Phiri menambahkan dalam pertemuan disepakati bahwa banyak pihak terlibat dalam isu keadilan sosial dan gender. “Kami tidak tahu kapan akan berakhir. Kami akan terus berkampanye sampai selesai,” kata Apawo Phiri.
Apawo Phiri mencatat Dewan Gereja Dunia kali pertama terlibat dalam kampanye pencegahan HIV dan AIDS pada 1984.
Dia mengatakan dengan penegasan iman berbasis kemanusiaan Dewan Gereja Dunia telah bekerja dengan mitra oikumenis lainnya antara lain Organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa yang mengurusi kesehatan, WHO (World Health Organization) dan UNAIDS.
Dalam kesempatan yang sama pemimpin sinode Gereja Ortodoks Suriah Antiokia, Geevarghese Mor Coorilos, mengatakan dalam pandangan Gereja Ortodoks semua kehidupan dianggap suci dan sakral dan karakteristik di dalamnya adalah nilai-nilai kebersamaan, saling ketergantungan, dan menjunjung kesamaan martabat dan prinsip-prinsip keadilan.
“Tidak ada ruang untuk diskriminasi, baik itu atas dasar jenis kelamin, kelas, kasta, status kesehatan, cacat,” kata Coorilos.
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Dewan Nasional Gereja-Gereja di Filipina, Rex Reyes mengatakan kampanye HIV dan AIDS di negaranya adalah kampanye yang dilakukan dengan prinsip kemanusiaan dan menjunjung keterlibatan orang-orang muda.
“Mengingat jumlah orang dengan HIV di negara saya yang cukup tinggi, kami bertindak dengan cara yang lebih cepat dalam menangani isu tersebut,” kata dia.
Reyes menjelaskan cara cepat yakni dengan melalui sektor pendidikan, dan pemimpin setiap sinode gereja di Filipina harus berani mengambil alih saat berbicara tentang isu tersebut.
Reyes menambahkan, pemimpin setiap sinode gereja di Filipina memberi contoh dan tauladan untuk menjalani tes bebas HIV-AIDS sehingga generasi muda tidak takut untuk menjalani tes bebas HIV-AIDS.
Di Filipina, kata Reyes, gereja menemukan mereka tidak hanya harus bekerja sama tentang HIV-AIDS, namun mereka juga mengurusi kampanye hal lain yakni perlindungan kepada orang-orang yang termasuk kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender.
Pendeta dari Gereja Lutheran Injili di Tanzania, Amin Sandewa menceritakan pengalaman kesedihan bergumul dengan AIDS, karena dia kehilangan dua anak perempuan dan istrinya yang meninggal karena AIDS. Sandewa menjelaskan saat ini dunia harus benar-benar peduli untuk pencegahan penyakit ini.
“Saya prihatin mengapa banyak orang yang tidak siap mengungkapkan," kata dia.
Dia menjelaskan di Tanzania setidaknya terdapat 400 pemimpin agama positif terjangkit AIDS, namun hanya sepuluh orang yang berani mengungkapkan. Dia mengatakan bahwa dalam upaya mendidik masyarakat terbebas dari AIDS, gereja harus menjangkau orang-orang yang termarjinalisasi, seperti pekerja seks. (oikoumene.org)
Editor : Sotyati
Mencegah Kebotakan di Usia 30an
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Rambut rontok, terutama di usia muda, bisa menjadi hal yang membuat frust...