Gereja Diminta Melindungi Kaum Migran
JENEWA, SATUHARAPAN.COM – Para pekerja migram sering menghadapi situasi pekerjaan yang ditandai 3D (dangerous, difficult, and dirty atau bahaya, sulit dan kotor), namun sumbangan penting terhadap perekonomian nasional, termasuk devisa, tidak diakui.
Hal itu disampaikan Prof Hyunju Bae, seorang teolog dari Korea Selatan, dalam pertemuan refleksi di John Knox International Reformed Centre, beberapa waktu lalu di Jenewa, Swiss. Acara itu dihadiri 120 aktivis pekerja migran dari berbagai negara dan mewakili berbagai gereja anggota Dewan Gereja-gereja Dunia (World Council of Churches /WCC).
Hyunju Bae menjelaskan bahwa para pekerja migran sering menghadapi situasi yang tidak teratur, dan mereka sering mendapatkan stigma atau stereotipe selayaknya sesuatu yang berbahaya.
Dia mengajak refleksi tema Sidang Raya WCC di Busan, Korea Selatan: “Tuhan kehidupan, bombing kami menuju keadilan dan perdamaian” untuk memperjuangkan keadilan bagi kaum migran (dan pekerja migran) dan kaum yang dipinggirkan.
"Allah kehidupan menantang kita mencari keadilan, dan perdamaian bagi masyarakat pendatang (migran)," kata Bae. Dia akan memimpin percakapan ekumenis dan kajian Alkitab dalam bahasa Korea pada sidang raya di Busan.
"Dalam dunia global kontemporer, kita mengalami kekuasaan aturan, pergerakan migrasi, sebagaimana kita merasakan meningkatnya rasa sakit dari ketercerabutan, diskriminasi, pengucilan, dan perlakuan tidak manusiawi dan melemahkan, serta keterasingan spiritual," kata dia.
Dalam situasi seperti ini (yang dialami kaum migran), Bae mengatakan, gereja perlu merevitalisasi warisan aslinya menjadi komunitas yang inklusif di mana gereja menyambut dan memeluk orang-orang yang terpinggirkan.
Perlindungan Hukum untuk Migran
Tentang tema yang sama, Martine Bagnoud dari serikat pekerja interprofessional (Syndicat interprofessionnel des travailleurs et travailleuses) memilih fokus pada situasi buruh migran di Swiss. Bagnoud melaporkan bahwa jumlah pembantu rumah tangga (PRT) yang bekerja dalam situasi tidak teratur di Swiss saat ini berjumlah lebih dari 40.000 orang. Sebanyak 90 persen di antara mereka adalah perempuan.
Dia mencatat bahwa pekerja rumah tangga berada pada resiko eksploitasi, pelecehan dan kekerasan. "Ada penurunan drastis dalam perlindungan sosial terhadap pekerja rumah tangga tanpa dokumen. Dan diperlukan penetapan pilihan hukum yang dapat membantu mereka melindungi hak-hak mereka," kata Bagnoud.
Bagnoud pun mengajak peserta acara itu untuk menandatangani petisi online yang meminta Dewan Federal Swiss untuk menjamin hak-hak pekerja rumah tangga dan meningkatkan kondisi kerja mereka.
Bahasan tersebut akan menjadi materi dan fokus pembahasan dalam sidang raya WCC di Busan. Dalam acara tersebut, hadir untuk memberikan pandangannya adalah Dr. Jooseop Keum, Dr. Deenabandhu Manchala, Dr. Dong Sung Kim, Dr. Andrew Donaldson dan Michel Nseir.
Pada acara tersebut, ditampilkan kegiatan doa, pentas paduan suara gereja dari jemaat migran, dan drama musik yang menampilkan anak-anak dan disutradarai oleh Gerakan Focolare. (oikoumene.org)
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...