Gereja Indonesia Perlu Theology Laundering dari Koloni Barat
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Gereja-gereja yang ada di dunia dan Indonesia saat ini membutuhkan theology laundering (pencucian pemahaman yang salah terhadap teologi) karena pemahaman tentang makna gereja di Indonesia secara luas banyak terdoktrinasi atau terkolonisasi teologi Barat.
“Menurut saya theology laundering gereja itu perlu, karena gereja harus membarui diri, gereja perlu melakukan itu,” kata Mantan Ketua Umum Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah Gereja Kristen Indonesia (BPMSW GKI) Sinode Wilayah Jawa Barat Pendeta Emeritus Kuntadi Sumadikarya, pada Diskusi Gerakan Oikotree Indonesia, hari Rabu (11/11) di Aula Sinar Kasih, Jl. Dewi Sartika no. 136 D, Jakarta.
Kuntadi menjelaskan gereja harus melakukan theology laundering karena gereja tidak hanya mengajarkan pembaruan ke umat, tanpa pemimpinnya mengajarkan perubahan. “Dan itu yang tidak mudah saat ini karena kalau gereja udah begitu ya begitu aja susah adanya pembaruan, misalnya HKBP (Huria Kristen Batak Protestan, Red) membutuhkan 152 tahun untuk membarui diri untuk dapat mentahbiskan perempuan menjadi pendeta,” dia menambahkan.
Dia menyebut bahwa masih banyak literatur di gereja, bahan bacaan, warta-warta gereja yang didominasi teologi barat.
Kuntadi memberi contoh di gereja apabila menyelenggarakan retreat ada permainan yang menurut dia tidak sesuai dengan sudut pandang Kristiani.
“Kita pernah ingat ada rekreasi permainan bola, waktu kita ikut retret atau seminar, kita pasti ingat kan ada permainan memutarkan bola dari satu orang ke setiap peserta retret sambil diiringi lagu gereja, nanti kalau lagu berhenti mendadak dan bola dipegang siapa gitu maka dia akan dipermalukan di hadapan teman-temannya,” Kuntadi menjelaskan.
“Nah itu rekreasi dan semua senang, tapi dari sudut padang yang lain ini yang tidak sesuai analisis teologis. Apakah itu mencerminkan ajaran Kristen yang ingin menjebak orang dan mempermalukan seseorang di depan semua orang,” Kuntadi menambahkan.
Dia menyesalkan tindakan seperti itu hanya contoh kecil, karena banyak gereja yang melakukan perumpamaan tersebut dalam contoh yang lebih besar, dan persoalan tersebut menurut dia adalah bagian dari teologi barat yang mendominasi di Indonesia, dan tanpa disadari akan menular ke sikap hidup gereja sehari-hari.
Dia menyebut gereja harus adaptif terhadap dinamika konteks dan zaman, karena banyak perubahan yang tidak dapat tertampung dalam pengaturan struktur dan organisasi gereja. Dia menambahkan struktur dan organisasi gereja harus segera diperluas dan dilandasi pola respons terhadap persoalan global agar struktur organisasi yang ada tidak menjadi benteng status quo.
“Ada begitu banyak kritik kita terhadap pihak-pihak yang menjadi kritik sosial tersebut namun saat ini kita kurang banyak kritik terhadap diri sendiri,” dia menjelaskan.
Selain theology laundering, gereja dan umat Kristen diajak melakukan language laundering, sebuah reformasi atau perubahan total dalam berbahasa dan bertutur kata.
“Menurut saya diperlukan language laundering karena saat ini kalau berbicara tidak boleh sembarangan karena kalau kita ngomong tentang kebenaran tapi kita tetap menyakiti orang lain,” kata dia.
Dia menjelaskan dengan contoh apabila ingin memahami berbagai paham ideologi sebuah negara seperti kapitalisme, sosialisme, dan komunisme tidak bisa menelan mentah-mentah paham tersebut sebagai paham yang baik atau buruk
“Sama halnya kalau kita memahami tentang makna dan arti orang Kristen, karena banyak orang yang memahami orang memahami Kristen sekarang adalah agama, bukan sebuah keimanan karena kalau sudah berbicara tentang keimanan berbeda beda kadarnya, dan keimanan kepada Yesus itu berbeda. Ada yang berpendapat Yesus yang selalu ngasih sukses, ada yang menganggap Yesus malah memberi banyak penderitaan,” dia menjelaskan.
Penyadaran Kedua Belah Pihak
Perubahan atau penyadaran diri tidak hanya gereja sebagai organisasi atau badan, namun juga dalam setiap individu, seperti pemimpin jemaat, penatua, diaken, sampai jemaat sekali pun harus ada kesadaran untuk perubahan dalam melakukan aktivitas, namun dengan mengacu kepada Firman Tuhan yang tertulis dalam Alkitab.
“Sekarang ini masih banyak jemaat di gereja-gereja besar yang belum melakukan edukasi konsientitasi (conscientization—konsep tentang penyadaran diri, dikembangkan oleh pakar pendidikan Brasil Paulo Freire, Red), banyak jemaat di sebuah gereja yang berada dalam ranah bisnis, militer, politik, atau dengan perkataan lain mereka berada dalam mesin-mesin empire dan penguasa dari jemaat tersebut menjadi berkuasa melebihi pendeta,” kata Kuntadi memberi contoh.
Dia menyebut bahwa yang seharusnya terjadi adalah gereja lupa memberi edukasi kepada jemaat bahwa gereja sebagai tempat pertemuan iman seseorang dengan Tuhan, dan tidak dapat sebagai kepentingan satu pihak. “Kalau gereja yang gagal mendidik jemaat samalah seperti Firman Tuhan dalam Lukas 23:34, ‘Ya Tuhan Ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat’,” kata dia.
Kuntadi mendefinisikan empire sebagai hasil rumusan Kairos di Accra, Ghana pada 2004 sebagai kekacauan tatanan dunia yang berakar pada sistem ekonomi yang sangat menguasai dunia seperti kerajaan zaman dahulu yang mengeksploitasi tanah, properti, alam secara besar-besaran.
“Saat ini empire itu bisa kita lihat sebagai kehadiran kekuatan ekonomi, budaya, politik dan militer yang sangat dominan, yang dipimpin oleh negara-negara kuat untuk melindungi dan membela kepentingan mereka sendiri,” kata Kuntadi.
Kuntadi memberi nasihat tentang orang-orang yang dikategorikan empire dalam sebuah gereja dari Kolose 3:23 yang berbunyi ‘Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia’. Dari ayat tersebut dia berharap ada perubahan dalam kinerja setiap orang yang bertindak seperti empire di sebuah komunitas gereja.
“Kalau anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat, Red) bekerja dengan berlandaskan seperti itu aman dunia kita, kalau dokter berprinsip seperti itu nggak ada pasien yang celaka,” kata dia.
Penyadaran tersebut adalah yang menurut dia definisikan sebagai konsientitasi, yakni penyadaran hati setiap umat di hadapan Tuhan. “Karena setiap orang ada titik lemahnya dalam situasi apa pun karena dari situlah penyadaran hati dilakukan karena kalau tidak kita akan membuat perang yang baru,” kata dia.
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...