Gereja Katolik Kecam Jokowi yang Tolak 64 Grasi Narkoba
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Gereja Katolik Indonesia mengecam sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak grasi yang diajukan 64 terpidana mati kasus narkotika dan obat terlarang (narkoba), sebagaimana disampaikan Pastor Siswantoko Pr dari Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI)
Pastor Siswantoko dalam kesempatan konferensi pers di kantor KWI, Cikini, Jakarta Pusat, Senin (15/12) menjelaskan setidaknya ada lima alasan Gereja Katolik menolak hukuman mati.
“Alasan pertama, siapa pun tidak punya hak mencabut nyawa orang lain karena hidup adalah anugerah dari Tuhan dan hanya Tuhan-lah yang berhak mencabutnya,” kata Pastor yang akrab disapa Romo Koko itu.
Selain itu, Romo Koko menyampaikan keraguan Gereja Katolik terhadap sistem hukum di Indonesia yang menyatakan ke-64 terpidana mati tersebut benar-benar ‘gembong’ narkoba.
“Kami menyangsikan apakah ke-64 orang itu sungguh-sungguh bandar narkoba, karena sistem hukum di negara kita masih memprihatinkan. Contohnya saja, masih banyak kasus salah tangkap, hukum kita cenderung kuat di bawah tapi lemah d atas, apakah benar ke-64 terpidana itu bebas intervensi politik? Jangan-jangan di antara ke-64 terpidana mati itu ada yang cuma pengguna. Apakah pemerintah bisa memastikan peradilan yang dilakukan sungguh-sungguh transparan?” ucapnya mempertanyakan.
Lebih lanjut Romo Koko menyampaikan, jika hukuman mati digunakan dalam pemerintahan Presiden Jokowi sebagai ‘shock therapy’, maka Gereja Katolik menuntut penelitian yang membuktikan hukuman mati benar-benar mampu menurunkan tingkat kejahatan.
“Sampai hari ini sudah ada delapan orang yang dieksekusi tapi toh belum ada efek jera juga. Di Malaysia yang secara tegas menerapkan hukuman mati bagi kasus narkoba pun, kasus narkoba marak luar biasa di sana. Jangan sampai ini salah sasaran, inginnya menghentikan narkoba tapi malah bunuh anak negeri,” katanya.
Gereja Katolik menolak hukuman mati karena dinilai tidak sejalan dengan program Nawa Cita Jokowi yang salah satu pasalnya menolak negara lemah dengan melakukan reformasi siat dan penegakkan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya.
“Hukuman mati bukanlah cara penegakan hukum yang bermartabat, hukuman mati malah untuk menghilangkan kehidupan. Apakah cara menyelamatkan jutaan orang harus mengorbankan ke-64 orang itu? Ini bukan upaya hukum yang bermartabat,” katanya.
Romo Koko juga menjelaskan, hukuman mati sebenarnya hanyalah menggambarkan kegagalan negara dalam melakukan pembinaan para narapidana.
“Berdasarkan hal-hal tersebut, Gereja Katolik Indonesia mendesak pemerintah Jokowi agar menghapuskan hukuman mati karena tidak memiliki dampak apa-apa untuk terwujudnya penegakan hukum yang bermartabat dan keadilan sebagaimana yang diharapkan,” kata dia.
Sekitar 140-an negara di Eropa, telah menghapuskan hukuman mati. Maka Gereja Katolik mengusulkan agar hukuman mati diganti hukuman penjara seumur hidup tanpa ada pengurangan (remisi) atau pengampunan (grasi).
“Dengan demikian kita memiliki dua keuntungan, negara tak perlu mencabut nyawa dan negara memberi kesempatan manusia untuk berubah, dengan ini orang akan jera. Jangan sampai hanya karena ingin menyenangkan publik, Jokowi melakukan hukuman mati,” dia berharap.
Romo Koko menuturkan, KWI sendiri telah memperjuangkan penghapusan hukuman mati sejak empat tahun lalu melalui ‘Koalisi Hati’ atau gerakan koalisi Anti Hukuman Mati. Pendekatan terhadap para terpidana hukuman mati pun dilakukan oleh KWI melalui kegiatan pelayanan, termasuk di LP Nusa Kambangan. (Ant)
Editor : Bayu Probo
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...