Gereja Perlu Berjalan Bersama Anak-anak Allah yang Lain
Gereja bukan lagi sebagai “pusat keselamatan”, melainkan “salah satu partisipan dalam misi Allah”. Gereja harus memiliki kebesaran hati untuk keluar dari ‘sifat sentrisme’ lalu berjalan bersama dengan sesama ‘anak-anak Allah’ yang lain, yang berbeda.
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Teologi tak bisa dilepaskan dari humanisme. Pasalnya, jika penghayatan terhadap teologi dilepaskan dari nilai-nilai humanisme, akan sangat berbahaya. Itulah salah satu kesimpulan yang disampaikan oleh Pendeta Dr. Julianus Mojau dalam diskusi buku karya Th. Sumartana berjudul “Soal-soal Teologis Dalam Pertemuan Antaragama” pada Kamis (16/4) di Gedung Pusat Administrasi Umum (PAU), Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Diskusi buku “Soal-soal Teologis Dalam Pertemuan Antaragama” ini diselenggarakan oleh Dian Interfidei dan Center for the Study of Islam and Social Transformation (CIS Form). Tiga narasumber dihadirkan dalam diskusi ini, yaitu Dr. Stanislaus Sunardi (Dosen Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma), Pendeta Dr. Julianus Mojau (Dosen Fakultas Teologi, Universitas Halmahera), dan Ahmad Muttaqin, Ph.D (Dosen Perbandingan Agama dan Penelitis CIS Form, UIN Sunan Kalijaga).
Menurut Pendeta Dr. Julianus Mojau, Teologi adalah pergulatan sehari-hari. Teologi bukan Dogmatika, bukan pula Kristologi. Teologi adalah humanisasi.
“Teologi bukanlah Kristologi dan bukan pula Dogmatika seperti yang pernah diklaim oleh Karl Barth (teolog Protestan Calvinis pada awal abad ke-20), yang di kemudian hari dikukuhkan oleh Hendrik Kraemer dalam realisme alkitabiah (biblical realism),” demikian disampaikan oleh Pendeta Mojau.
Menurut Pendeta Mojau, upaya untuk meng-humanisasi-kan Teologi tersebut adalah dengan membuat Gereja yang sepatutnya keluar dari “sifat sentrisme”. Dalam tataran ini, Gereja bukan lagi sebagai “pusat keselamatan”, melainkan “salah satu partisipan dalam misi Allah”.
“Gereja-gereja di Indonesia perlu memiliki kebesaran hati untuk keluar dari ‘sifat sentrisme’ dalam dirinya dan mau berjalan bersama dengan sesama ‘anak-anak Allah’ yang lain, yang berbeda, dalam membangun dunia dan manusia yang lebih humanis,” ujar pendeta yang juga aktivis Oase Intim Makassar dan Rumah Pencerahan Halmahera ini.
Terkait dengan humanisasi, Pendeta Mojau juga menegaskan bahwa misi Kristen harus terkait dengan usaha-usaha humanisasi kehidupan sehari-hari secara konkret, baik secara ekonomi, politik, budaya, dan agama. Dalam konteks kekinian, misi Kristen adalah ikut dalam pembangunan sebagai upaya membangun manusia Indonesia yang bermartabat secara politik dan ekonomi.
Pembicara lain, Dr. Stanislaus Sunardi memandang bahwa di kalangan masyarakat yang majemuk seperti saat ini, teologi masih bisa mendapatkan legitimasinya. Dasar yang dipakai oleh teologi untuk mendapatkan legitimasi tersebut, tak lain adalah kemanusiaan (humanisme).
“Bicara tentang kemanusiaan berarti bicara tentang conditions of being human zaman ini yang tidak cukup dimasuki secara langsung secara teologis, melainkan secara kultural dan politis,” ujar Dr. Sunardi.
Bagi Dr. Sunardi, kemanusiaan dalam teologi tidak bisa hanya berupa tempelan semata,melainkan harus menjadi inti. Inti dari teologi tersebut dapat ditemukan ketika manusia berada pada limitnya, yaitu wacana tentang agama dan manusia di Indonesia.
“Limit tersebut adalah dilema kesulitan seperti ketika kita harus menulis sejarah Indonesia yang didominasi oleh wacana kolonial. Atau ketika kita menulis perempuan di Indonesia yang sudah didominasi wacana patriarkis,” ujar Dr. Sunardi.
Menyinggung soal humanisme dalam Teologi, Ahmad Muttaqin, Ph.D secara khusus menyebutkan bahwa humanisme merupakan panglima agama. Secara tegas, Ahmad Muttaqin menyampaikan bahwa agama yang minus kemanusiaan (humanisme), maka yang terjadi adalah kesombongan dan keserakahan.
“Agama yang minus kemanusiaan, yang terjadi adalah kesombongan dan keserakahan. Oleh karena itu, saya berani menganggap bahwa humanisme adalah panglima agama,” ujar Ahmad Muttaqin.
Buku karya Th. Sumartana yang berjudul “Soal-soal Teologis Dalam Pertemuan Antaragama” ini merupakan skripsi beliau yang dipertanggungjawabkan pada 1971. Skripsi yang kemudian diterbitkan menjadi buku oleh Dian Interfidei pada 2015 ini membahas tentang masalah teologi dalam konteks pembangunan nasional. Sepintas, soal yang dibahas dalam buku ini akan dipandang sinis oleh sebagian orang. Namun, bagi orang yang mau belajar sejarah, karya pria yang akrab disapa Pak Tono oleh kawan-kawannya ini memiliki nilai yang sangat penting, khususnya bagi para teolog dan Ilmu Teologi di Indonesia.
Editor : Eben Ezer Siadari
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...