Gereja sebagai Persekutuan Dompet, Mungkinkah?
SATUHARAPAN.COM – Mungkinkah gereja menjadi paguyuban cinta kasih yang tidak hanya bersekutu dalam persekutuan rohani, tetapi juga dalam ‘persekutuan dompet’? Mungkinkah jemaat dibangun sehingga umat tidak hanya menjalani kebersamaan lewat aktivitas seperti ibadah, persekutuan doa, paduan suara, tetapi juga dalam persekutuan sosial-ekonomi semisal bersinergi dalam membuka usaha tambal ban atau membuka kedai kopi?
Bagi sebagian orang ini mungkin pertanyaan sulit. Namun kita patut bergembira ada gereja yang dewasa ini secara sangat serius menggumulinya dan ingin mendapatkan jawabannya. Pertanyaan itu bahkan dibahas dan dijadikan bagian dari diskusi tema persidangan Sinode yang menghadirkan para petinggi gereja, pendeta, penatua dan aktivis gereja lainnya.
Bertempat di Wisma Sejahtera, Magelang, 10-12 September lalu, Majelis Sinode Wilayah Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sinode Wilayah (SW) Jawa Tengah melangsungkan persidangan ke-9 yang dihadiri lebih dari 100 utusan dan undangan dari delapan Klasis yang meliputi 88 Jemaat seantero Jawa. Tema persidangan, yaitu “Menjala Kesejahteraan Umat” secara khusus didedikasikan untuk mengeksplorasi bagaimana kira-kira gereja dapat berperan mendorong warganya untuk tak hanya puas berwelas kasih lewat sentuhan dan pelayanan rohaniah. Lebih dari itu mereka dimotivasi untuk menjadi tangan-tangan Tuhan yang dengan sukarela memberikan pemberdayaan ekonomi kepada anggota jemaat yang membutuhkan.
Gereja sudah pasti tak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa struktur sosial dan kondisi masyarakat Indonesia menyisakan problem kemiskinan yang masih berat. Diperkirakan masih ada 30 juta penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Menurut data BPS 28,2 juta penduduk terpaksa hidup dengan pengeluaran hanya Rp 302 ribu perbulan/orang. Dan sebagian adalah warga gereja yang mungkin setiap hari Minggu hadir ibadah. Mereka bergumul untuk mencukupkan pendapatan yang terbatas ada yang belum punya pekerjaan tetap, selalu gagal dalam berusaha, yang masih terbelit macam-macam kredit atau mereka yang rentan jatuh dalam kesulitan ketika mengalami masalah kesehatan yang menguras keuangan keluarga.
Pdt. Em. Widi Artanto yang membawakan Pemahaman Alkitab (PA) mengawali hari kedua persidangan, secara inspiratif membahas tema ini. Ia mengambil kisah penampakan Yesus ketiga kali kepada murid-murid-Nya di pantai Danau Tiberias (Yoh 21:1-14) untuk memberikan penyegaran paradigma, bahwa gereja semestinya bukan hanya memperhatikan kesejahteraan rohaniah umat melainkan juga kesejahteraan jasmaniah.
Pada masa-masa ketakutan semenjak kematian Yesus, murid-murid-Nya banyak yang kembali ke kehidupan semula, seperti Petrus yang memutuskan kembali menjadi penjala ikan. Banyak tafsiran yang menganggap keputusan Petrus itu sebagai sebuah ‘kemunduran’ dari kacamata pemuridan. Langkah itu dianggap kemerosotan dari visi dan misi menjadi penjala manusia yang rohani ke penjala ikan yang duniawi.
Namun, menurut Pdt. Em. Widi Artanto, tanggapan Yesus sendiri berbeda. Ia tidak kecewa dan meremehkan kebutuhan kesejahteraan para murid saat itu. Ia malah ikut dalam pergumulan mereka dan sekaligus juga ikut menikmati hasil kerja mereka.
Yesus yang bangkit bukan Yesus yang berbeda atau berubah. Kalau Ia dulu dekat dan sering blusukan di wilayah kumuh Galilea, sekarang juga tetap dekat dan mau melayani mereka. Pdt Em Widi Artanto melihat bahwa perintah Yesus, “Tebarkan jalamu di sebelah kanan perahumu,” justru merupakan penegasan bahwa Tuhan sangat memperhatikan kesejahteraan atau kebutuhan sosial ekonomi dan mau memberikan hidup baru yang holistik.
Di sini kita mendapat pemahaman yang lebih jernih. Bahwa Tuhan ternyata tidak membuat pemisahan antara kebutuhan rohani dan jasmani. Bagi Yesus kebutuhan makan dan minum adalah kebutuhan bagi tubuh dan jiwa, sama pentingnya seperti juga makanan rohani yang kita dapatkan lewat khotbah, ritual ibadah dan doa-doa.
Dengan demikian menjala manusia dan menjala ikan tidak lagi bersifat dikotomis. Proselitisme yang selama ini masih banyak menghinggapi umat, yaitu paham yang menganggap panggilan utama hidupnya sebagai kaum Nasrani adalah berusaha memasukkan sebanyak mungkin orang ke dalam agamanya, tak bisa ditolerir karena justru mempersempit panggilan itu sendiri.
Menjala manusia kini harus diterjemahkan sebagai panggilan agar kita memasukkan manusia lain ke dalam urusan hidup kita yang selama ini penuh dengan egoisme atau pementingan diri.
Kita memerlukan keseimbangan dalam pemahaman iman dan kasih. Kabar baik bagi sebagian umat, tidak melulu mengajaknya berdoa, beribadah dan ikut PA. Yang jauh lebih dibutuhkan ialah tindakan konkret untuk melepaskan mereka dari kesulitan ekonomi. Dan untuk itulah gereja dapat memainkan peran menjadi solidarity maker. Gereja perlu memainkan peran memotivasi dan memberi inspirasi kepada umat, sehingga persekutuan rohani yang sudah terbangun dapat bertransformasi juga menjadi persekutuan sosial-ekonomi, atau seperti yang disebut dalam judul, persekutuan dompet.
Tiga Jalan Masuk
Jika Yesus berpesan agar Petrus menebar jala ke sebelah kanan perahu, itu juga berarti peringatan bagi gereja untuk juga beranjak pada arah yang sama. Gereja harus mengarah pada horizon baru, menjadi mengerti dan peduli bersama warga yang membutuhkan pemberdayaan ekonomi.
Ada tiga jalan masuk yang ditawarkan oleh Pdt Widi Artanto untuk jadi pergumulan gereja. Pertama ialah konsepsister church. Pemberdayaan ekonomi jemaat lewat program konkret bagi semua jemaat atau jemaat-jemaat tertentu di kota kecil dilakukan melalui sinergi antara gereja lokal yang relatif kuat menolong gereja yang relatif terbatas sumber dayanya. Dari success story jemaat-jemaat ini, diharapkan jemaat lain belajar dan menjadi acuan pembelajaran.
Kedua, mejajaki pembentukan Usaha Bersama (UB). Jemaat didorong untuk membentuk komunitas kecil yang antaranggota sedang berjuang memberdayakan diri dalam solidaritas saling percaya dan saling membantu. Di dalam UB digalang modal kerja bersama dan pelatihan-pelatihan kewirausahaan. Keberadaan UB ini didukung oleh seluruh jemaat dalam jejaring yang lebih luas.
Ketiga, menghidupkan kembali konsep Komunitas Basis Jemaat. Di dalam KBJ, setiap anggota bekerja sama untuk kesejahteraan bersama. Tekanan dalam KBJ bukan lagi sekadar kegiatan ritual rohani seperti renungan, kesaksian dan doa, melainkan program kehidupan bersama untuk meningkatkan kesejahteraan. Dalam komunitas ini pergumulan tiap anggota dalam memperjuangkan kesejahteraannya dibagikan dan dipergumulkan bersama. Yesus tetap dihadirkan dalam komunitas itu. Tetapi bukan hanya lewat Alkitab, khotbah dan nyanyian, melainkan dengan bersama-sama membicarakan upaya-upaya bersama meningkatkan kapasitas ekonomi anggota jemaat.
Menarik untuk mencatat pesan Badan Pengurus MSW GKI SW Jateng dalam pemandangan umum di persidangan kali ini. Dan ini merupakan awal yang penting bagi perwujudan persekutuan yang holistik antara yang rohani dan yang duniawi. Dikatakan, bahwa “Gereja dapat memilih untuk mendahulukan anggota jemaat yang membutuhkan pemberdayaan ekonomi bukan karena pilih kasih, tetapi karena mereka tidak memiliki kekuatan untuk membela dan memberdayakan diri. Pilihan seperti ini sudah dilakukan oleh Yesus sendiri dan kemudian dilanjutkan oleh gereja-Nya ketika kesadaran akan tugas panggilan atau misi gereja telah bergeser dari paradigma agamawi sempit menjadi paradigma misi Kerajaan Allah.”
Eben Ezer Siadari adalah co-author Teologi Kerja Modern dan Etos Kerja Kristiani (2013), satu dari 10 utusan GKI Klasis Jakarta II ke PMSW GKI SW Jateng di Magelang 10-12 September 2014.
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...