Gereja Yasmin Bogor: Kasus Produk Hukum Intoleran Akan Selesai Tahun Ini
BOGOR, SATUHARAPAN.COM – Gereja Yasmin Bogor, yang terkatung-katung proses izinnya dalam 13 tahun terakhir karena ditentang "kelompok intoleran" akan selesai tahun ini, kata Wali Kota Bima Arya dalam peluncuran hasil riset produk hukum intoleran.
Wali Kota Bogor, Bima Arya, mengakui di daerahnya masih terdapat kelompok-kelompok intoleran, termasuk yang menolak keberadaan GKI Yasmin.
"Itu adalah PR yang tak bisa sendiri dihadapi, tapi kami percaya harus diselesaikan bersama-sama," katanya saat peluncuran hasil riset Setara Institute di Jakarta, Selasa (13/8).
Terkait dengan penyelesaian GKI Yasmin, Bima Arya mengaku telah membentuk tim yang terdiri atas perwakilan pemerintah kota, gereja, dan kelompok Islam.
Saat ini tim yang terdiri atas tujuh orang, masih membahas fokus penyelesaian GKI Yasmin, dengan pilihan mendirikan di tempat yang baru, relokasi, atau berbagi lahan.
"Saya optimistis yang besar, Yasmin ini akan selesai. Mudah-mudahan Natal ini ada kabar baik bagi kita semua," kata Bima Arya.
Hasil penelitian Setara Institute menunjukkan, terdapat 91 produk hukum di Jawa Barat dan 24 di Yogyakarta, yang berisi elemen diskriminatif berdasarkan gender, etnisitas, kepercayaan, dan orientasi seksual.
Dari temuan Setara Institute, dampak yang ditimbulkan dari produk hukum daerah diskriminatif antara lain, hambatan pelayanan publik, hilangnya hak konstitusional warga untuk menjalankan ibadah, stigma terhadap kelompok LGBT/waria dan pekerja seks, meningkatnya kesulitan pendirian tempat ibadah, dan potensi tindakan kekerasan terhadap kelompok minoritas.
Kemendagri Kurang Tenaga Evaluasi
"Produk hukum diskriminatif akan menjadi bom waktu, menyebabkan konflik sosial antaretnik, agama, dan ikatan sosio-kultural lainnya," kata peneliti Setara Institute, Ismail Hasani.
Kementerian Dalam Negeri mengakui, sulit mengendalikan produk hukum daerah yang intoleran dan diskriminatif terhadap kelompok minoritas, salah satunya karena masalah internal.
Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Akmal Malik mengaku dari 56 anggota tim yang mengevaluasi produk hukum daerah, hanya tujuh yang berlatar belakang sarjana hukum.
"Selainnya, sarjana lain yang dipaksa menjadi sarjana hukum," katanya, Selasa (13/8).
Akmal mengatakan, pihaknya berjanji akan mengevaluasi satu per satu berdasarkan kewenangan direktorat untuk mengklarifikasi produk hukum daerah.
Akmal mengatakan, jika terdapat produk hukum daerah yang bertentangan dengan aturan lainnya termasuk Pancasila, serta berpotensi menimbulkan konflik, "Maka Kemendagri berhak untuk menyampaikan kepada pemda untuk dilakukan perubahan."
Ia mengatakan dalam waktu dekat, temuan Setara Institute ini akan dibawa dalam rapat bersama Kementerian Hukum dan HAM dan Ombudsman RI.
Salah satu yang menjadi sorotan Setara Institute adalah produk hukum berupa Surat Keputusan Walikota Bogor No 503/367-Huk tentang Pembatalan Surat Keputusan No 601/389-Pem Tahun 2006, tentang Pendirian Gereja Yasmin, Bogor.
Juru Bicara GKI Yasmin, Bona Sigalingging mengatakan proses izin pendirian gereja masih berlarut-larut karena belum ada keputusan tegas dari Wali Kota Bogor, Bima Arya.
"Sekarang tinggal eksekusinya saja, kalau penalti itu tinggal tendangnya saja, Bima Arya mau bagaimana," katanya saat dihubungi BBC Indonesia, Selasa (13/8).
Bona juga mengatakan, sebagai jemaat GKI Yasmin, ia menginginkan lokasi gereja tidak dipindahkan ke tempat lain.
"Kalau dipindahkan itu berarti, pengingkaran terhadap cita-cita pendiri negara, bahwa negara ini harus berbaur antarsatu penganut agama dengan agama lainnya," katanya.
Bogor Ingin Jadi Kota Toleran
Sementara itu, Wali Kota Bogor, Bima Arya menyatakan telah menetapkan visi kota sebagai sebagai kota toleransi di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2019 - 2024.
"Sudah ada di situ penguatan toleransi yang akan diturunkan dalam semua kegiatan dinas. Jadi nanti setiap dinas akan saya tanya, ini semangat toleransinya ada di mana?" kata Bima Arya.
Plt Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Akmal Malik mengatakan, aturan daerah yang toleran dan antidiskriminasi berawal dari visi dan misi kepala daerah.
"Ini menjadi dasar bagi teman-teman di SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) untuk membangun kebijakan-kebijakan yang toleran," kata Akmal sambil melanjutkan tiap kebijakan yang mendukung visi toleransi akan didukung oleh APBD.
Sementara itu, anggota Ombudsman RI, Ninik Rahayu mengingatkan, jangan sampai visi toleransi di dalam RPJMD dijadikan bancakan.
Ninik meminta pemerintah daerah yang ingin mengusung toleransi, menerjemahkannya secara konkret. Ia mengambil contoh langkah konkret termasuk membentuk unit-unit pengaduan bagi kelompok disabilitas, perempuan, dan kepercayaan minoritas yang mendapat perlakuan diskriminasi.
"Itu hal yang konkret yang harus diterjemahkan dari RPJMD," kata Ninik. (bbc.com)
Beijing Buka Dua Mausoleum Kaisar Dinasti Ming untuk Umum
BEIJING, SATUHARAPAN.COM - Dua mausoleum kaisar di Beijing baru-baru ini dibuka untuk umum, sehingga...