Ghettoisasi Muslim dan Persemaian Kultur Intoleransi
SATUHARAPAN.COM - Beberapa hari lalu (5/12) di Youtube beredar sebuah video yang mempertontonkan adegan yang menimbulkan kegemparan. Seorang pengendara sepeda motor yang mengenakan pakaian ala laskar Jihad kena tilang polisi dalam sebuah operasi lalulintas di Karawang. Lelaki pengendara itu ditilang karena tidak menggunakan helm. Merasa tak suka dengan kejadian itu, ia marah-marah. Dia merasa polisi mau menangkapnya karena menganggap dirinya teroris. Memaki-maki selama sekitar tiga menit – sesekali bahkan dengan kosa-kata kotor – ia menantang kepada komandan lapangan agar menghadirkan Kapolri langsung untuk turun menangkapnya.
“Enak saja kalian main tangkap!” bentaknya meledak-ledak. “Aku keliling ke seluruh Indonesia dengan pakaian seperti ini, dan tidak pernah ditilang,” bentaknya lagi. Ia terus memaki-maki sambil berkacak pinggang di depan sekitar dua pleton pasukan polantas. “Aku tak akan pernah pakai helm. Lebih aman pakai pakaian seperti ini. Sampai matipun aku tetap dengan pakaian ini,” katanya sambil menunjuk penutup kepala dan jubah putihnya.
Menyita perhatian masyarakat sekitar yang takjub dengan keberanian lelaki itu, peristiwa tersebut sempat memacetkan jalanan. Komandan lapangan akhirnya memutuskan untuk mempersilahkan lelaki itu melanjutkan perjalanan tanpa memproses perkaranya. Menjelang pergi, ia sempat membuat pernyataan yang tak kalah mengejutkan. “Kalau saja kalian bukan Muslim, sudah aku bom tempat ini,” katanya.
Dahsyat! Apa yang sesungguhnya berkecamuk dalam pikiran dan perasaan lelaki itu? Bagaimana kita memahami kata-katanya yang menantang agar Kapolri sendiri yang turun tangan untuk menangkapnya, karena ia merasa telah diduga sebagai teroris? Mengapa ia merasa berada di luar UU Lalulintas mengenai ketentuan penggunaan helm bagi pengendara sepeda motor? Dengan kata lain, mengapa ia merasa berada di luar komunitas hukum Indonesia? Mengapa ia merasa lebih sebagai bagian dari sebuah lasykar keagamaan dengan identitas khusus yang eksklusif?
Nilai-nilai sektarian
Pada 2008, PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat) UIN Jakarta menyelenggarakan sebuah survai mengenai apa yang disebut “Indeks Islam.” Indeks ini dipakai untuk mengukur apa yang dipersepsi sebagai keberislaman masyarakat, apa yang diyakini sebagai sikap dan cara untuk menjadi Muslim yang semestinya. Survei dilakukan di Jawa dengan para guru agama sebagai responden utama. Kenapa dipilih para guru agama, karena mereka inilah yang dianggap menjadi agen transmisi nilai-nilai keislaman yang diyakininya, yang kemudian diajarkan kepada para muridnya.
Hasil survei itu sempat membuat publik tercengang. Untuk sebagian besar, menjadi jelas bahwa nilai-nilai pendidikan agama yang diajarkan para guru agama itu sebagian besar berisi norma-norma sektarian. Tigabelas dari limabelas kriterium indeks berisi ajaran yang jelas-jelas menunjukkan sikap tertutup, intoleran, dan fanatik dalam beragama.
Hanya ada dua paramater yang berisi nilai-nilai mengenai pentingnya toleransi agama dan kesetaraan warga. Itupun dianggap sangat tidak penting oleh para guru agama. Hanya 3% guru yang merasa bahwa nilai toleransi agama perlu diajarkan. Lebih rendah dari itu, yakni hanya ada 0,3% guru yang setuju agar para muridnya diajarkan pendidikan tentang kewarganegaraan – kesetaraan hak semua warganegara tanpa memandang agama yang dipeluknya.
Hasil survei PPIM lima tahun yang lalu itu tampaknya memang memperlihatkan bahwa sudah lama murid-murid Muslim diajarkan untuk hidup dalam gheto-gheto tertutup dengan kultur yang ekslusif dan intoleran. Meskipun sebagian besar guru agama itu mengajar di sekolah-sekolah negeri, mayoritas mereka (67%) misalnya lebih merasa sebagai Muslim ketimbang sebagai warganegara. Fakta ini menjelaskan bahwa sudah sejak dari pikirannya kesadaran etnos lebih tinggi dibandingkan kesadaran demos. Para guru Islam itu menganut nilai-nilai partikularistik dan mengajarkan nilai-nilai keagamaan yang partikularistik pula.
Sebenarnya tak ada soal dengan partikularisme nilai-nilai agama. Tapi dalam masyarakat yang multikultur seperti Indonesia, nilai-nilai partikular yang subjektif harusnya diobjektivikasi menjadi nilai-nilai yang bisa dishare bersama. Objektivikasi justru merupakan metode untuk membuat klaim universal nilai-nilai agama terbukti secara empiris. “Akhlak mulia” (akhlaqul-karimah) yang juga diklaim diajarkan oleh 51% guru-guru Muslim itu adalah norma yang sebenarnya juga diajarkan oleh semua agama sebagai golden-rules. Persemaian nilai-nilai moral bersama berbasis ajaran agama – termasuk Islam – bisa menyumbangkan sesuatu untuk terciptanya kebajikan demos, sebuah public-virtue. Dan itulah sumbangan agama yang paling ultimat.
Tetapi tidaklah sepenuhnya demikian yang pada kenyataannya diajarkan oleh guru-guru Muslim itu. Moralitas Islam justru diajarkan dalam kerangka yang sangat eksklusif dan sektarian. Sebagian besar mereka (73%) misalnya mengajarkan untuk tidak menerima adanya rumah ibadat non-Muslim di lingkungan tempat tinggal mereka. Dalam jumlah yang lebih besar (87%), mereka juga melarang para muridnya untuk mempelajari agama lain; mengajarkan mereka untuk menolak mengikuti perayaan yang berasal dari tradisi budaya lain (86%), khususnya Barat. Di pihak lain mereka juga mengajari para muridnya menolak munculnya pemimpin-pemimpin publik non-Muslim (62%); serta pada saat yang sama menolak pula munculnya sekte Islam di luar sekter mereka sendiri (61%). Para guru itu dengan kata lain melakukan ghetoisasi, menanamkan prinsip untuk hidup dalam lingkungannya sendiri, terpisah dari komunikasi sosial-kultural yang terbuka terhadap “yang-lain.”
Mentalitas gheto
Kita tidak tahu persis, apakah lelaki pengendara motor yang menolak ditilang dalam cerita yang dikutip di atas merupakan produk dari ghettoisasi Muslim yang ditanamkan sejak lima tahun yang lalu itu. Tetapi dengan melihat kenyataan tentang merosotnya kultur toleransi di kalangan masyarakat Muslim – penolakan terhadap gereja-gereja di banyak tempat, pengusiran orang-orang Hindu Bali oleh komunitas Muslim di Sumatra Selatan, pembantaian dan pengusiran orang-orang Ahmadiyah dan Syiah di Lombok, Madura, dan tempat-tempat lain – kita menangkap bukti tentang sektarianisme yang makin keras dipraktekkan.
Mentalitas ghetto adalah mentalitas tertutup. Ghettoisasi kaum Muslim adalah percobaan untuk membuat kaum Muslim menjadi komunitas yang menolak melakukan interaksi dengan agama lain; dan dengan demikian tidak mengakui adanya pluralitas keyakinan. Ini memang sebuah definisi yang berada di luar pengertian ghetto sebagai komunitas-komunitas yang dikucilkan dari lingkungan fisik komunitas mayoritas.
Kaum Muslim masih merupakan mayoritas terbesar dalam masyarakat Indonesia, tetapi ghettoisasi yang diajarkan oleh guru-guru agama itu telah membuat mereka sebenarnya sedang mengerdilkan diri sendiri.
Penulis adalah Direktur Riset Public Virtue Institute, Jakarta
Jaktim Luncurkan Sekolah Online Lansia
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Timur meluncurkan Sekolah Lansia Onl...