Loading...
OPINI
Penulis: Eka Pangulimara Hutajulu 12:30 WIB | Kamis, 12 Desember 2013

Menunggu Angin Segar Pemberantasan Korupsi

SATUHARAPAN.COM - Publik dibikin gemas oleh sikap Angelina Sondakh yang girang alang kepalang pasca vonis hakim terhadap dirinya (10/1/2013). Saat itu, perempuan yang akrab dipanggil Angie ini bersujud syukur, seolah-olah vonis 4,5 tahun penjara itu merupakan kemenangan besar baginya. Setelah sidang, sejumlah kerabat dan sahabat Angie memeluk dan menyalami mantan Puteri Indonesia ini. Mereka juga terlihat berfoto-foto. Sebuah pemandangan yang kian mengoyak harapan publik akan keadilan.

Angie memang pantas bersuka hati atas vonis yang jauh lebih rendah dari tuntutan jaksa (12 tahun). Selain itu, Angie juga tidak diwajibkan untuk mengembalikan uang Rp 35 milliar yang didakwakan sebagai suap untuknya. Dia terhindar dari pasal 12 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sebagaimana tuntutan jaksa. Hakim Tipikor lebih memilih menjeratnya dengan pasal 11 yang vonisnya lebih ringan.

Gusti ora sare. Peruntungan Angie berubah sekejapan mata. Ketua Majelis yang mengadili perkara Angie di tingkat kasasi, Artidjo Alkostar, Rabu (20/11/2013) mengatakan Angie dijatuhi hukuman 12 tahun penjara. Angie juga dibebani kewajiban mengembalikan uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 39,9 miliar dan denda Rp 500 juta. Vonis Angie bertambah 17 tahun 8 bulan penjara, jika dia tak bersedia membayar denda dan uang pengganti kerugian negara (Detik.com, 21/11).

Menurut majelis kasasi, Angie dinilai aktif meminta dan menerima uang terkait proyek-proyek di Kementerian Pendidikan Nasional serta Kementerian Pemuda dan Olahraga. Artidjo menilai, terdakwa aktif meminta imbalan uang atau fee kepada Mindo Rosalina Manulang sebesar 7 persen dari nilai proyek (disepakati 5 persen). Proaktifnya Angie meminta imbalan membedakan antara Pasal 11 dan Pasal 12 a UU Tipikor (Kompas, 21/11).

 

Tidak Rugi

Salah satu kerisauan publik terhadap peradilan tindak pidana korupsi adalah pengenaan hukuman (vonis) yang terlalu rendah. Data Indonesia Corruption Watch`(ICW) menunjukkan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta saja, dari 240 terdakwa yang diadili sejak 2005 hingga 2009, vonis yang dijatuhkan relatif ringan, yaitu rata-rata hanya 3 tahun 6 bulan (Kompas, 19/1).

ICW juga pernah memantau, 227 terdakwa korupsi dibebaskan dan 10 terdakwa divonis percobaan sepanjang tahun 2008. Angka ini dianggap besar karena sepanjang tahun 2008 terdapat 194 perkara korupsi dengan 444 terdakwa yang diadili oleh pengadilan di seluruh Indonesia.

Hukuman ringan koruptor ini dianggap tidak menimbulkan efek jera. Artinya, mereka yang sudah, sedang, dan akan korupsi tidak takut oleh ancaman pemenjaraan. Nilai uang yang mereka korupsi selalu melebihi risiko dibui untuk beberapa tahun.

Dalam konteks Angie misalnya. Negara oleh pengadilan dinyatakan mengalami kerugian hampir Rp 40 miliar oleh aktivitas ilegal anggota DPR dari Partai Demokrat ini. Dengan vonis hanya 4,5 tahun (yang kemungkinan dikurangi remisi), Angie malah ”digaji” Rp 740 juta perbulan. Dengan upah 2,5 jutaan, seorang buruh harus bekerja 25 tahun untuk mengumpulkan uang sejumlah itu!

Kasus lainnya, dugaan suap Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah dan pencucian uang yang melibatkan anggota DPR, Wa Ode Nurhayati. Dia telah divonis 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Nilai uang yang diterima Wa Ode mencapai Rp 6,25 miliar, sedangkan nilai pencucian uang yang dilakukannya sekitar Rp 50,5 miliar, atau total Rp 56,75 miliar.

Kalkulasinya, jika Rp 500 juta digunakan untuk membayar denda, masih bersisa Rp 56,25 miliar di tangan Wa Ode. Menurut akal sehat siapapun, menghabiskan waktu 6 tahun penjara (dan masih dikurangi remisi tiap tahun), sama sekali tidak rugi demi duit Rp 56,25 miliar. Wa Ode sendiri masih muda (32 tahun). Dengan duit puluhan miliar yang dikantonginya itu, dia masih sanggup meretas karier politik lagi saat menghirup udara bebas.  

Hal memberatkan bagi koruptor yang dipenjara hanyalah sebutan koruptor yang melekat. Tapi masyarakat Indonesia cenderung pemaaf, sehingga status koruptor dapat direhabilitasi pelaku melalui kegiatan-kegiatan bernuansa positif atau amal. Selain itu, masyarakat juga suka lupa atas keburukan seseorang di masa lalu. Beberapa pesohor yang pernah dipenjara dalam berbagai kasus, justru menikmati popularitas berlebih saat bebas.

 

Mencegah ”Come Back”

Kita tentu berharap preseden Angie bakal menular ke kasus-kasus korupsi besar lainnya. Mereka yang menyalahgunakan dana publik senilai atau lebih besar dari yang Angie lakukan, juga pantas dikenakan hukuman setara. Kita masih tidak habis pikir bagaimana mungkin hukuman koruptor yang merugikan negara berpuluh miliar tidak berbeda jauh dengan vonis untuk pencuri ayam atau kambing.

Selain aspek keadilan yang dipertanyakan, hukuman berat menyampaikan pesan pahit bagi koruptor. Melewatkan banyak waktu dalam penjara merupakan kerugian berganda bagi koruptor. Selain tak bebas menikmati hasil kecurangannya, dia juga terancam kemandekan karier politik setelah lepas dari penjara.

Vonis baru Angie jelas akan ”menghabisi” karier politiknya. Saat ini dia berusia  36 tahun per 28 Desember 2013, dan saat bebas nanti usianya menjadi 47 tahun, atau bahkan 53 tahun (jika tak membayar denda dan kerugian negara). Selain konfigurasi politik yang pasti berubah banyak pada saat itu (tahun 2024-2030), Angie juga tidak punya cukup banyak waktu untuk membangun karier politiknya lagi.

Mencegah seorang koruptor kembali memasuki area perpolitikkan penting demi menghindari repetisi tindak korupsi di masa yang akan datang. Konstitusi memang tidak menghalang-halangi hak politik siapapun (termasuk eks pesakitan korupsi), namun vonis yang cukup lama (lebih dari 10 tahun) akan memastikan koruptor kesulitan untuk come back di dunia politik.

Bisa dibayangkan, seorang bekas narapidana korupsi yang berjaya lagi di dunia politik, pengetahuan korupsinya bakal semakin canggih. Dia juga akan semakin piawai mengutak-atik uang negara demi kepentingan pribadinya.

 

Penulis adalah pemerhati sosial-politik


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home