Demokrasi dan Kebinekaan Kita
SATUHARAPAN.COM - Dari segi usia, Indonesia kini sudah dewasa. Dari sisi politik, Indonesia sudah modern. Itu sebabnya Indonesia dipuji sebagai negara demokratis ketiga terbesar di dunia, pada 12 November 2007, oleh International Association of Political Consultants.
Pertanyaannya, apakah demokrasi bersesuaian dengan kebijakan dan/atau praktik diskriminasi atas nama agama, etnis, dan gender? Kalau tidak, mengapa ada kasus seperti Lurah Susan di Lenteng Agung, Jakarta, yang diminta pindah oleh sebagian orang yang mengaku warga setempat hanya gara-gara agamanya tak tergolong “mayoritas” di sana? Mengapa pula permintaan irasional seperti itu mendapat dukungan dari Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi sampai-sampai ia meminta Gubernar DKI Jakarta Jokowi untuk mempertimbangkannya?
Di sejumlah daerah, mengapa ada peraturan-peraturan yang memandang dan mengatur kaum perempuannya secara diskriminatif? Tak hanya dalam hal berbusana, bahkan cara membonceng di sepeda motor pun diatur begitu rupa sehingga sangat tak nyaman dan potensial mendatangkan celaka.
Berita aktual yang senada juga datang dari Manado. Di Kecamatan Malalayang, Kota Manado, sejumlah warga meminta Pemerintah Kota (Pemkot) untuk mengganti Kepala Kecamatan dan dua Lurah di wilayah mereka yang bukan berasal dari Suku Bantik. Dua Lurah tersebut adalah Lurah Malalayang Barat serta Lurah Malayang Satu. Alasannya, demi mempertimbangkan pesan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Bantik yang ada wilayah Minanga, Malalayang. Demikian dikatakan Koodinator Lapangan Demo Warga Bantik, Jones Mamitoho (21/10/2013).
Pertanyaannya, meminta pejabat publik diganti atas nama perbedaan suku itu merupakan kearifan lokalkah atau kepentingan primordial yang picik? Sebab, sebagai negara yang demokratis dan politiknya telah semakin modern, masyarakat sudah seharusnya membiasakan diri hidup secara inklusif dan memperjuangkan kepentingan bersama yang imparsial. Dengan kata lain, demokrasi justru akan menjadi demokrasi yang sehat jika kita biarkan berkembang di tengah kebinekaan.
Spirit persatuan
Pertanyaan-pertanyaan di atas sangat relevan untuk direnungkan kembali hari-hari ini saat kita memperingati hari HAM (Hak Asasi Manusia), mengingat fakta bahwa tenunan kebinekaan kita telah terkoyak di sana-sini. Akankah Indonesia selamat dan tetap utuh sampai 50 tahun lagi jika pelbagai ancaman terhadap keanekaragaman itu dibiarkan saja?
Proklamator dan presiden ke-1 Indonesia Soekarno pernah mengingatkan, dengan mengutip sejarawan Arnold Toynbee (1889-1975) dan Edward Gibbon (1737-1794): ”Suatu bangsa besar tidak akan runtuh, tidak akan tenggelam, kecuali jika dirobek-robek, pecah dari dalam. Jatuhnya suatu bangsa bukan perbuatan musuh dari luar. Musuh apa pun, kalau menghadapi bangsa yang kuat, tidak akan menghancurkan bangsa itu, kecuali jika bangsa itu sendiri merusak dirinya sendiri.”
Di Gedung Indonesische Clubgebouw, Weltevreden (kini Gedung Sumpah Pemuda, Jalan Kramat 106), Jakarta, 28 Oktober 1928, milik seorang Tionghoa bernama Sie Kok Liong, para tokoh pemuda mengucapkan apa yang kelak disebut sebagai Sumpah Pemuda. Pertama: “Kami Poetra dan Poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe Tanah Indonesia ”. Kedua: “Kami Poetra dan Poetri Indonesia, mengakoe berbangsa satoe Bangsa Indonesia ”. Ketiga: “Kami Poetra dan Poetri Indonesia, mengakoe mendjoendjoeng Bahasa Persatoean Bahasa Indonesia”.
Pertemuan yang merupakan Kongres Pemoeda II itu dihadiri oleh sejumlah utusan dari berbagai organisasi kepemudaan yang ada saat itu seperti Jong Islamieten Bond, Pemuda Indonesia, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Bataks Bond, Pemoeda Kaoem Betawi, dan PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia). Dari golongan Tionghoa hadir empat orang, yakni Kwee Thiam Hong, Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hock, dan Tjio Djien Kwie.
Kesepakatan yang dicapai dalam Putusan Kongres Pemuda II itulah yang membuat pergerakan para pemuda kian menemukan arah dalam perjuangan mencapai Indonesia Merdeka. Faktor penggeraknya adalah persatuan. Para pemuda dari berbagai golongan etnik dan daerah yang mulanya berserakan sebagai entitas yang berbeda-beda itu berkomitmen untuk bersatu dalam tiga hal: nusa, bangsa, dan bahasa. Secara politik, itulah momentum kelahiran Indonesia sebagai sebuah bangsa baru. Artinya, selama ratusan tahun sebelumnya, yang ada hanyalah embrio-embrio keindonesiaan. Namun sejak Indonesia menjadi bangsa baru, 28 Oktober 1928, kita sekaligus memiliki spirit dan modalitas besar dalam meraih cita-cita di depan. Itulah soliditas kebersatuan, yang berlandaskan kesamaan “nusa, bangsa, dan bahasa”. Di atas ketiga pilar itulah tekad para pendiri bangsa Indonesia dipatri dalam-dalam.
Adakah pilar lain yang mempersatukan bangsa besar ini? Secara politik tak ada, karena faktanya kita belum pernah lagi bersumpah satu untuk pilar yang lain. Kalaupun ada, itu adalah Pancasila sebagai dasar negara yang telah ditetapkan sebagai sumber hukum dan UUD 45 sebagai konstitusi sekaligus hukum yang tertinggi secara hirarkis di antara produk-produk hukum lainnya, sesuai Tap MPRS XX/MPRS/1966 yang mengantarkan Indonesia ke era Orde Baru, yang kelak diperbarui lagi denganTap MPR III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan dan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Urutan Perundangan.
Itulah landasan berpijak Indonesia di masa lalu, masa kini, dan masa depan untuk selalu bersatu. Maka dapatlah dipastikan, Indonesia niscaya berubah jika kita berupaya menambahkan unsur-unsur lain sebagai perekat kesatuan dan kebersatuannya. Disintegrasi nasional niscaya mengancam jika unsur-unsur yang lain itu dipaksakan.
Pertanyaannya, apakah integrasi nasional yang telah sekian lama dibangun di atas landasan tersebut membuat rakyat Indonesia terbelenggu secara politik? Faktanya tidak. Bahkan sebaliknya, rakyat Indonesia kian lama kian menikmati kebebasannya. Terbukti partisipasi politik rakyat justru kian meningkat dari era ke era. Pers juga semakin bebas. Tak heran, sebab di sisi lain Indonesia juga semakin modern secara politik. Itulah demokrasi yang berkembang makin dewasa.
Demokrasi sendiri bukanlah sebuah sistem politik yang terbaik. Ia juga memiliki kelemahan, karena kerap melelahkan dan bertele-tele. Namun, di sepanjang sejarah dan perkembangan peradaban masyarakat dunia, ia terbukti sebagai sistem yang paling mampu bertahan dan terus-menerus dikembangkan. Mahathir Mohamad dalam Achieving True Globalisation (2004), mengatakan: “Democracy, at least at present, is the best form of governance, but by no means a perfect one. In democracy, one has the freedom. When democracy is misunderstood, however, and freedom misinterpreted, the result is anarchy.”
* Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan.
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...