Partai Politik Yang Serba Absen
SATUHARAPAN.COM - Publik sudah ”paham” betapa malasnya anggota DPR seperti ditunjukkan absensi mereka dalam rapat-rapat. Bukti tak terbantahkan terlihat pada foto-foto yang menggambarkan sunyinya ruang rapat nan megah di DPR yang kosong melompong atau hanya diisi segelintir orang. Sinyalemen lainnya, kerap tertundanya rapat-rapat DPR lantaran tidak memenuhi kuorum. Kemalasan anggota DPR ini kemudian berbuntut pada terabaikannya salah satu tugas pokok DPR, legislasi.
Ketidakhadiran para anggota DPR itu, konon, karena para kaum terhormat itu mempunyai tugas yang tak kalah penting di luar Gedung DPR. Tugas apa itu, hanya mereka sendiri yang mengetahuinya. Sering kali mereka mengklaim berurusan dengan konstituen, menyerap aspirasi publik maupun tugas-tugas lain yang terkesan maha-penting.
Tentu sulit mengikuti aktivitas mereka satu-satu untuk membuktikan klaim tersebut. Tapi, kita bisa memeriksanya pada sejauhmana keterlibatan para wakil rakyat itu dalam urusan menyangkut hajat hidup orang banyak. Salah satu urusan rakyat itu adalah haru-biru perjuangan keras buruh menuntut penetapan upah layak. Kita bisa mengecek langsung, peran ”nyaris nihil” anggota DPR dan partai politik (parpol) pada isu yang menentukan nasib kesejahteraan puluhan juta orang setahun ke depan.
Tidak salah jika seorang orator buruh dalam sebuah aksi pemogokan menyoal peran parpol, yang terutama diemban anggota DPR (sebagai wakil rakyat dan kepanjangan tangan parpol). ”Parpol itu apa gunanya? Ada yang bantu kita para buruh? Tidak ada kan? Mereka juga tak pernah mengunjungi kita untuk mendengarkan jeritan kita! Rakyat yang mana yang parpol pikirkan, kita buruh memang bukan rakyat?" teriak sang orator, buruh pelabuhan yang melakukan aksi di depan Pos 9 Pelabuhan Tanjung Priok (Kompas.com, 311/10).
Seperti diketahui, beberapa hari belakangan ini buruh seluruh Indonesia menggelar unjuk rasa dan pemogokan demi keaikan upah minimumn sebesar 50 persen atau Rp 3,7 juta khusus upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta. Sejauh ini tuntutan buruh menghantam ”karang besar”. Gubernur DKI Jakarta Widodo menyepakati UMP di wilayahnya sebesar Rp 2,44 juta, jauh di bawah tuntutan buruh.
Keputusan Jokowi ini menimbulkan kemarahan luar biasa di pihak buruh yang bertekad akan melakukan demonstrasi atau pemogokan lanjutan. Perihal ini, kita hanya sayup-sayup mendengar respon partai politik, ”calon-calon” presiden, dan anggota DPR di Senayan sana.
Minim Peran
Tidak ada peran berarti dari parpol atau anggota DPR terhadap isu penetapan upah minimum, baik yang menolak ataupun mendukung tuntutan buruh. Mereka hanya melakukan komentar terbatas di media massa, yang tiada beda dengan apa yang dilakukan pengamat politik. Kita pantas mengharapkan mereka seharusnya mampu berbuat lebih dari itu.
Anggota DPR dari Partai Demokrat, Nova Riyanti Yusuf, misalnya, malah mempertanyakan alasan elemen buruh yang kerap berdemo di Balaikota untuk kenaikan upah. Menurut Wakil Ketua Komisi IX yang membawahi perburuhan, elemen buruh sudah diwakilkan oleh pimpinan kelompok buruh yang ada di forum tripartit bersama pemerintah dan kelompok pengusaha (Kompas.com, 31/10).
Taufik Kurniawan dari Partai Amanat Nasional (PAN) menyatakan kekhawatiran terhadap aksi-aksi buruh, ketimbang berbicara hal yang lebih substantif. Persoalan upah buruh, katanya, jangan sampai dijadikan alat politik pihak tak bertanggung jawab. Jangan sampai masalah ini menjadi isu politik di daerah dan saling mengancam (Tribunnews, 1/11).
Suara keras disampaikan Rieke Dyah Pitaloka dari PDI Perjuangan dan Indra dari Partai Keadilan Sejahtera. Menurut Indra, pungli adalah faktor yang paling berkontribusi besar terhadap ongkos biaya produksi suatu perusahaan. Indra menuding selama ini pengusaha terlalu sibuk membayar ongkos pungli kepada oknum-oknum yang membuat ongkos produksi membengkak (Sindonews, 2/11).
Sementara itu, Rieke menyatakan persetujuan langsung atas tuntutan buruh. Ada tiga alasan penting, yakni kenaikan BBM 45 persen pada akhir Juni lalu, pelemahan nilai tukar rupiah, dan kenaikan tarif listrik 15 persen sepanjang tahun ini. Kenaikan upah 2014 haruslah signifikan, katanya, mengingat kondisi-kondisi yang memicu naiknya ongkos hidup rakyat.
Bertindak Lebih
Mekanisme penetapan upah minimum memang di luar jangkauan parpol, penghuni DPR atau DPRD. Upah mengacu pada kebutuhan hidup layak (KHL) melalui survei pemerintah, buruh, dan pengusaha di Dewan Pengupahan. Mereka menggodok 60 komponen KHL, menetapkannya, lalu mengajukan angka KHL ke gubernur untuk kemudian menentukan upah baru yang berlaku pada tahun berikutnya.
Tapi, politik bukan hanya adu argumen dalam ruang-ruang tertutup atau hanya dilakukan oleh para representatif. Politik juga memperhatikan tarik-menarik antara kekuatan berkepentingan, opini publik, dan aspirasi rakyat seperti demonstrasi. Jika Nova Riyanti Yusuf benar-benar ingin tahu mengapa buruh terus berdemo, dia seharusnya ”merapat” ke serikat-serikat buruh untuk menjawab pertanyaannya sendiri. Lebih dari itu, dia dapat menimba aspirasi buruh sebanyak-banyaknya untuk kemudian mengagregasinya sejauh kemampuan dan kapasitasnya.
Soal pungli yang merebak di perindustrian kita, seperti nubuat Indra, DPR memiliki banyak kewenangan untuk membongkar praktik-praktik haram itu dan menghentikannya. Sayangnya, rakyat amat meragukan komitmen DPR dalam persoalan pemberantasan korupsi (dimana pungli salah satu bentuk korupsi juga) mengingat mereka sendiri kerap berlumuran tudingan korupsi.
Rieke lain lagi. Sebagai sesama kader partai di PDI Perjuangan dan sempat bahu-membahu dalam pencalonan dirinya sebagai gubernur Jawa Barat, dia (bisa dibayangkan) punya pengaruh khusus pada Gubernur Jokowi. Dia juga seharusnya menggerakkan parpol untuk memberi pertimbangan berbeda pada Jokowi
Jangan lupakan peran gubernur, yang juga merupakan kader-kader parpol. Parpol yang menaungi semua gubernur seharusnya memiliki kebijakan khusus mengenai pengupahan yang manifes dalam keputusan gubernur saat menetapkan upah minimum. Bahkan, inilah arena yang bisa menjadi pembeda antara satu partai dengan partai lainnya. Gubernur dari partai pemerintah dan pendukungnya mungkin bisa langsung menerapkan kebijakan pusat. Sedangkan gubernur dari partai ”oposisi” mestinya berani menentukan upah yang relatif lebih tinggi.
Kebijakan berbeda tentu hasilnya beda pula. Inilah yang nanti menjadi bekal rakyat dalam menilai sebuah parpol pantas atau tidak untuk dipilih, segaris atau tidak dengan keyakinan asas dan ideologinya.
Penulis adalah pengamat perburuhan
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...