Ging Ginanjar, Wartawan BBC dan Pendiri AJI Meninggal Dunia
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Wartawan BBC Indonesia Ging Ginanjar meninggal dunia di Jakarta pada Minggu (20/1/2019) malam.
Ging dikenal sebagai salah satu pendiri organisasi wartawan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), yang dibentuk pada 1 Agustus 1994.
Ketika itu, pemerintah hanya mengakui Persatuan Wartawan Indonesia sebagai satu-satunya organisasi sah bagi para wartawan.
Ging pernah mendekam di penjara setelah ditangkap pada 10 Maret 1998 saat digelar Kongres Rakyat Indonesia (KRI) yang bermaksud “memilih secara simbolik presiden versi rakyat”.
KRI digelar tepat sehari sebelum Soeharto dipilih dan dilantik kembali sebagai presiden.
Fotografer Erik Prasetya mengabadikan jalannya persidangan Ging pada 20 Mei 1998 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Bersama beberapa seniman dan aktivis, Ging dinyatakan bersalah namun dibebaskan pada hari itu juga. Sehari kemudian Soeharto menyatakan mundur sebagai presiden dan digantikan oleh BJ Habibie.
Soeharto jatuh setelah muncul demonstrasi besar-besaran yang dimotori mahasiswa di berbagai kota. Aksi mereka juga berhasil menduduki gedung DPR/MPR di Senayan, Jakarta.
Kawan yang Menyenangkan
Beberapa kawan dan sahabat Ging mengatakan terpukul dengan meninggalnya almarhum. Sesama pendiri AJI dan wartawan senior Goenawan Mohamad menggambarkan Ging sebagai sahabat, teman seperjuangan melawan represi Orde Baru, dan kawan yang menyenangkan.
Berikut kenangan beberapa kawan:
Abdul Manan, Ketua AJI Indonesia
Ging sosok yang egaliter, mungkin karena dia pemikirannya liberal. Meski dia generasi awal AJI (Aliansi Jurnalis Independen), dengan anggota AJI seperti saya (angkatan 1997), tidak menunjukkan senioritas.
Meski dia sangat lama di AJI, dia cukup rendah hati, tidak merasa paling tahu sebagai warga kelas satu. Itu sikap yang sangat saya respect. Dia sebagai orang yang kariernya lebih panjang daripada kami yang masuk belakangan.
Warisan penting Ging bersama Ahmad Taufik, menggagas Forum Wartawan Independen. Itu yang memulai dia dan Taufik, mereka peletak dasar Majalah Independen—majalah, yang buat kami fenomenal, karena mengirim empat anggota AJI ke penjara.
Dia pasti punya tempat khusus di AJI. Menjadi wartawan di Orde Baru butuh keberanian besar, syarat yang tidak dibutuhkan wartawan sekarang.
Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan, Kemendikbud
Saya kenal Ging pertama kali setelah pemberedelan Tempo tahun '94 di Bandung. Ging Ginanjar ini pendiri Aliansi Jurnalis Independen. Dia juga terlibat dalam penerbitan majalah Suara Independen. Jadi kami ketemu dalam konteks itu, sama-sama memperjuangkan kebebasan berekspresi. Beliau di media, dan saya sering bantu isi acara.
Ging yang saya kenal adalah sosok yang independen seutuhnya. Pikirannya sangat merdeka, sekalipun di dalam hiruk-pikuk politik. Pendiriannya teguh, mengkritik apa yang perlu dikritik sekalipun itu adalah orang yang dibelanya dan memuji orang yang menjadi lawannya kalau memang perlu dipuji.
Ging adalah sosok intelektual, pekerja keras, jurnalis yang percaya betul pada independensi media dan memperjuangkan kebenaran.
Lain dari itu, Ging juga seniman. Dia terlibat banyak dalam teater, sastra; dan teman yang mengasyikkan kalau berbicara tentang kebudayaan, tentang sejarah, dan berbagai aspek masyarakat. Orangnya juga sangat mudah bergaul, sangat rendah hati, cepat akrab dengan orang lain.
Ulil Abshar Abdalla, Cendekiawan Nahdlatul Ulama
Ging itu pejuang wartawan dan wartawan pejuang karena dia terlibat dalam perjuangan melawan kekuasaan Orde Baru dalam AJI. Saya bertemu dengan dia saat Tempo dibredel, dan sampai akhir hayat, Ging adalah wartawan yang tak hanya memberitakan peristiwa, namun ada sesuatu yang diperjuangkan.
Peninggalan Ging yang paling penting adalah AJI, salah satu monumen perlawanan Orde Baru yang masih kita lihat saat ini. AJI masih konsisten dalam tegakkan jurnalisme yang bermartabat dan tak bisa dipengaruhi oleh kekuasaan baik politik dan ekonomi...
Wartawan bisa belajar dari perjuangannya, karena teknologi digital saat ini membuat kemerosotan nilai jurnalisme, karena teknologi menuntut serba cepat, jurnalisme kehilangan ketajaman dan insting memperjuangkan keadilan.
Poengki Indarti, Komisioner Kompolnas
Tulisan-tulisan beliau tajam dan bernas. Beliau juga orang yang setia kawan dan pembela HAM yang gigih, terbukti beliau terpanggil untuk mendukung perjuangan penuntasan kasus pembunuhan terhadap almarhum Munir, baik melalui investigasi jurnalisme KBR 68H—tempat beliau dulu pernah aktif—hingga saat beliau di BBC.
Kang Ging dalam mewawancarai dan menulis berita menunjukkan kelasnya sebagai jurnalis senior yang cerdas. Beliau sangat sederhana dan seorang family man. Sepuluh hari yang lalu masih sempat berkomunikasi. Sama sekali tidak ada firasat akan kepergiannya yang sangat mendadak. Selamat jalan, Kang Ging!
Andreas Harsono, Aktivis Human Rights Watch
Pertama ketemu di Bandung, dia itu wartawan radio Mara, di tabloid Detik mingguan.
Waktu Tempo dibredel, dia bikin buletin namanya Fowi (Forum Wartawan Independen). Fowi itu yang kemudian jadi cikal bakal majalah AJI. Jadi dia ikut mendirikan AJI. Dia juga sempat menjalankan majalah bawah tanah.
Sebelum Soeharto turun, dia sempat ditangkap. Setelah Soeharto turun dia pindah ke Jerman, kerja untuk DW (Deutsche Welle).
Dia orangnya independen, wartawan yang setia dengan pekerjaan tapi punya posisi, bukan wartawan yang tidak punya posisi. Kalau punya komitmen ya dia akan menjalankan, berani membayar risiko.
Orangnya juga kritis terhadap gejala intoleransi di Indonesia pasca-Soeharto. (bbc.com)
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...