GKI Serukan Gerakan Damai untuk Batalkan UU Pilkada
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Gereja Kristen Indonesia (GKI) melalui pesan pastoralnya menyerukan umat untuk melakukan gerakan damai untuk membatalkan UU Pilkada. Gereja yang terdiri dari 222 jemaat yang terbagi dalam 19 klasis dalam 3 Sinode Wilayah ini juga mengajak umat untuk bersinergi dengan siapa pun agar hak dan kepentingan rakyat dipulihkan dan diutamakan.
"Kita semua harus berjuang keras melalui profesi dan aktivitas apa pun, seperti demonstrasi damai, membangun opini melalui media nasional maupun media sosial," demikian antara lain seruan Badan Pekerja Majelis Sinode (BPMS) GKI, yang ditandatangani oleh Ketua Umum, Pdt Royandi Tanudjaya dan Sekretaris Umum Pdt Arliyanus Larosa. Seruan ini sejak Minggu lalu telah diedarkan melalui Warta Jemaat di gereja-gereja anggota GKI.
BPMS GKI berpandangan, sejumlah peristiwa di dalam dan luar negeri dewasa ini perlu mendapat respon secara arif dari gereja. "Sebagai gereja yang hadir dalam ruang dan waktu, khususnya di Indonesia, GKI menghayati panggilannya untuk ikut terlibat secara proaktif dalam membangun bangsa ini. Karena itu, GKI juga dipanggil untuk ikut menanggapi berbagai peristiwa tersebut," demikian sebagian isi pesan pastoral itu.
GKI prihatin dengan perkembangan politik yang terjadi belakangan ini, terutama dengan dikeluarkannya Undang Undang Pilkada. GKI berpendapat UU itu "Merampok hak azasi rakyat dan memasung partisipasi rakyat. UU Pilkada membuat demokrasi partisipatif yang sedang kita bangun runtuh dan berubah menjadi politik oligarkis. Perubahan ini sangat mendasar dan membutuhkan respon kita sebagai gereja."
GKI berpendapat, dalam demokrasi, seluruh rakyat harus aktif berpartisipasi. Partisipasi itu terutama dalam membangun rumah bersama yang berisi keadilan, perdamaian, penghormatan terhadap hak azasi manusia. Namun, dalam penilaian GKI, beberapa peristiwa politik belakangan ini menunjukkan indikasi adanya upaya melemahkan proses demokrasi dengan memperkuat oligarki. Salah satu upaya pelemahan demokrasi itu ditandai dengan ulah sebagian wakil rakyat.
"Atas nama demokrasi, anggota DPR memperjuangkan Undang-undang MD3 yang mengubah pola pemilihan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Seperti yang kita saksikan, ketua DPR saat ini tidak dipilih langsung oleh anggota DPR, tetapi merupakan hasil penetapan dan ‘kongkalikong” para pemimpin partai untuk membagi-bagi kekuasaan dan jabatan serta demi memenangkan kelompok atau koalisinya," kata seruan itu.
GKI juga menilai adanya sikap paradoksal anggota DPR. Sementara para wakil rakyat itu menuntut hak mereka untuk memilih secara langsung Ketua DPR, mereka justru mensahkan Undang-Undang (UU) Pilkada.
"Dalam UU Pilkada hak rakyat, yang kita nikmati selama 10 tahun untuk memilih langsung kepala daerah, telah dirampok. Melalui UU Pilkada, kedaulatan oligarki, dimana segelintir orang memegang dan mengatur kekuasaan politik demi kepentingan pribadi dan kelompoknya, telah mengebiri hak politik rakyat."
Ditambahkan, bila dalam UU Pilkada yang lama para kepala daerah harus dekat dengan rakyat dan harus bisa melayani rakyat, dalam UU Pilkada yang baru mereka harus melayani dan ‘menjilat’ para ‘decision maker’ yaitu oligarki di pusat dan di daerah.
Oleh karena bahaya ini, GKI berpendapat pencabutan UU Pilkada adalah suatu keharusan. "Kita bertanggungjawab untuk memperkuat dan membangun kembali demokrasi yang aspiratif dan partisipatif. Daulat rakyat harus ditegakkan kembali."
Editor : Bayu Probo
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...