GPI Papua: Otsus Bisa Jadi Malapetaka bagi Papua
GUNUNGSITOLI, SATUHARAPAN.COM – Sekretaris Umum Gereja Protestan Indonesia di Papua (GPI Papua) Pdt Janusia Salu memperingatkan bahwa Otonomi Khusus bisa menjadi malapetaka bagi rakyat Papua. Selain itu ia mendorong agar keberadaan Biro Papua dalam pengurus harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia tetap ada pada kepengurusan periode 2014-2019. Berikut petikan wawancara satuharapan.com dengan mantan Ketua STT GPI Papua ini, Jumat (14/11).
Satuharapan.com: Bagaimana PGI menangani masalah Papua dengan adanya Biro Papua di PGI?
Pdt J. Salu: Saya pikir persoalan-persoalan Papua ini adalah persoalan yang kompleks. Dan, PGI lewat program yang ada dengan mengangkat dalam laporannya tentang masalah Papua, itu sudah cukup meski perlu disadari belum menjawab seluruh persoalan. Sebab, ada ranah-ranah yang tidak mudah dimasuki gereja. Sebab, kita berhadapan dengan aturan-aturan pemerintah dan ada aturan yang tidak kelihatan dalam budaya masyarakat.
Persoalan Papua tidak bisa diselesaikan hanya dengan menyikapinya dari luar. Juga menuduh bahwa penyebab masalah Papua adalah dari luar. Menuduh bahwa mereka yang dari luar Papua melakukan tindakan yang dikategorikan menyingkirkan masyarakat Papua. Tetapi, kita juga perlu melihat di kalangan masyarakat Papua. Terutama, kita mesti berbuat sesuatu yang dapat membuat mereka mau memasuki ranah kompetisi di wilayah Papua. Artinya, saat ada pendatang masuk Papua dengan kemampuan dan pengalaman mereka, masyarakat asli mesti siap menerima dan berkompetisi di situ.
Selama ini kita menganggap pendatang jadi biang keladi termarjinalnya penduduk Papua. Tetapi, sebenarnya ada hal-hal dari dalam yang menjadi penyebab termarjinalkannya orang Papua.
Selain itu, Undang-undang Otsus yang memberikan perhatian yang begitu besar untuk memberdayakan masyarakat Papua, tanpa diawasi dengan baik menjadi petaka. Otsus membuat masyarakat Papua kehilangan semangat kompetisinya dan menjadi masyarakat yang hanya bertadah tangan menerima “anugerah” tanpa ada keinginan untuk berkembang.
Saya pikir gereja harus untuk memainkan proses perkembangan dan pelayanannya supaya mengembalikan masyarakat Papua mau berjuang untuk membangun. Sebab, jika tidak ada keinginan berjuang, mereka tidak mampu untuk bertahan dalam kompetisi. Ini entry point untuk gereja membangun masyarakat asli Papua.
Setelah sekian ratus tahun Injil ada di Papua, ternyata malah melahirkan “kebobrokan”. Pemikiran ini ada di kalangan saudara-saudara muslim. Realitas ini harus dihadapi dan digumuli bersama. Dan bersama mencarikan jalan keluar. Namun, belum dapat dilakukan dengan baik karena terbentur misalnya piagam saling mengakui dan menerima di antara gereja-gereja anggota PGI. Namun, piagam ini menjadi hambatan karena ada pihak tidak mau bekerja sama untuk menyelesaikan masalah di Papua. Padahal persoalan ini terbuka yang tidak bisa diatasi sendiri-sendiri.
Satuharapan.com: Bagaimana hasil rekomendasi pada Sidang di Mamasa? Tentang konsolidasi di antara 10 sinode di Papua?
Pdt J. Salu: Di Papua ada Gereja Jemaat Protestan di Tanah Papua, Gereja Karismatik Papua Indonesia, Gereja Kemah Injil di Papua (Kingmi Papua), Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI-Papua), Gereja Manmin Papua, Gereja Misi Kristus di Tanah Papua, Gereja Pentakosta di Papua, Gereja Protestan Indonesia di Papua, Gereja Reformasi Indonesia di Papua, Gereja Victoria Melanesia Papua, Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (PGBP), dan Gereja Kristen Kalam Kudus.
Langkah konsolidasi di antara sinode yang ada di Papua sudah berjalan karena sudah dibentuk Persekutuan Gereja-gereja Papua (PGGP). PGGP—yang sudah ada di tingkat kabupaten dan kota—menjadi wahana bagi gereja-gereja untuk saling bekerja sama. Namun, Gereja di Papua harus hati-hati sebab melalui PGGP gereja bisa jadi cenderung menyikapi hal-hal politis. Terjadi kencenderungan memasuki dunia politis melalui PGGP. Selain itu juga ada kecenderungan pemerintah memengaruhi PGGP ini.
Jadi PGGP sebenarnya dihadirkan dengan maksud baik, tetapi jika tidak hati-hati ada penyusupan. Itu membuat PGGP tidak maksimal. Dari 10 sinode di Papua hanya tiga anggota PGI: GKI Papua, GPI Papua dan GKKK. PGGP tugasnya berat tapi perlu kehati-hatian untuk tidak disusupi kepentingan politik. Sebab, jika ada kepentingan politik masuk, PGGP tidak dapat maksimal.
Satuharapan.com: Bagaimana dengan PGI ke depan untuk kepengurusan baru nanti?
Pdt J. Salu: Saya mendorong PGI untuk terus berperan aktif membuka dialog-dialog dengan sinode-sinode gereja di Papua. Tidak hanya dengan yang berkantor pusat di Jayapura, tetapi juga yang di kota lain. Karena kunci dari masyarakat Papua ini adalah gereja. Masyarakat bisa tidak mendengar pemerintah, politikus, atau tetua adat. Namun, masyarakat Papua pasti mendengarkan gereja.
Satuharapan.com: Jadi biro Papua di PGI masih diperlukan?
Pdt J. Salu: Tentu. Biro Papua PGI masih diperlukan. Terutama untuk berkomunikasi dan membedah masalah Papua. Sebab untuk membedah masalah Papua perlu dua arah. Dari dalam dan dari luar. Biro Papua di PGI bisa menjadi jalan untuk membedah akar masalah Papua dari luar. Biro Papua dapat dimaksimalkan.
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...