Greenpeace Sebut Nama 3 Perusahaan Pemicu Kebakaran Hutan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Investigasi terbaru oleh Greepeace mengungkap beberapa perusahaan minyak sawit yang berlabel sustainable/berkelanjutan telah merusak hutan dan lahan gambut yang memicu kebakaran hutan di Kalimantan.
Peneliti dari Greenpeace menginvestigasi tiga perkebunan di Kalimantan Barat dan Tengah, tempat terjadinya kebakaran besar selama krisis kabut asap di tahun 2015. Dua merupakan perusahaan yang terkait dengan IOI Loders Croklaan, perusahaan yang berbasis di Malaysia, dan satu terkait dengan Aas Kusuma Group dari Indonesia.
Hasil investigasi tersebut menemukan di setiap kasus, telah terjadi deforestasi yang meluas dan pengeringan lahan gambut sebelum terjadi kebakaran. Deforestasi dan pengeringan lahan gambut secara luas diakui sebagai akar penyebab krisis kebakaran, termasuk oleh pemerintah Indonesia.
Lebih lanjut, minyak kelapa sawit dari perkebunan tersebut dipasok ke pasar internasional melalui pedagang komoditas, seperti Wilmar International, Golden Agri Resources dan IOI Loders Croklaan. Kemudian, pedagang komoditas ini menjual minyak kelapa sawit kepada perusahaan bermerek internasional yang mempunyai kebijakan “Nol deforestasi”.
Menurut Greenpeace, seperempat hutan Indonesia telah hancur sejak tahun 1990. Industri pulp & kertas dan kelapa sawit penyebab utama dari kehancuran hutan. Sementara itu, pemerintah telah mengidentifikasi terdapat 15 juta ha hutan yang tersedia untuk pembukaan dan pengembangan lahan yang sebagian besar akan digunakan untuk energi (biofuel) dan pertanian, dengan kelapa sawit sebagai prioritasnya.
"Dalam hidup saya, lebih dari seperempat hutan Indonesia telah dijarah. Rakyat Indonesia menanggung akibat dari kerusakan dan kebakaran hutan yang mempengaruhi kesehatan dan mata pencaharian jutaan orang. Semua ini dilakukan untuk menyuplai permintaan global untuk minyak sawit yang murah, kertas dan kayu," kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace, Annisa Rahmawati, dalam siaran pers yang dilansir pada hari Senin (23/11).
Dua dari perkebunan kelapa sawit yang diselidiki oleh Greenpeace terkait dengan IOI Group, anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Yang ketiga dimiliki oleh Alas Kusuma Group, dimana beberapa perusahaan dari kelompok ini memegang sertifikat Forest Stewardship Council (FSC). Perusahaan ini juga mendapat pendampingan dari IFC, sebuah anak usaha Bank Dunia.
Greenpeace menyerukan kepada semua perusahaan untuk membuka data konsesi mereka secara lebih transparan dan tersedia untuk publik serta mengumumkan langkah-langkah yang akan diambil untuk melindungi hutan dan lahan gambut serta memastikan untuk tidak berkontribusi terhadap krisis kebakaran berikutnya.
RSPO juga harus menyerukan kepada anggotanya untuk mempublikasikan peta konsesi, sesuai dengan hasil resolusi yang telah disetujui pada konferensi RSPO dua tahun lalu.
"Meskipun telah bertahun-tahun menjadi pembicaraan, perusahaan-perusahaan sawit masih memiliki andil besar dalam krisis kebakaran hutan dan lahan di Indonesia," kata Anissa.
"Perusahaan-perusahaan harus mempublikasikan peta mereka, sehingga kita dapat melihat siapa yang masih merusak hutan hujan Indonesia. Mereka yang masih terus membabat hutan hujan dan lahan gambut, harus dikeluarkan dari pasar. Jika tidak, maka kehancuran dan bencana asap akan terus berlanjut, sampai tidak ada lagi hutan yang tersisa."
Beberapa waktu yang lalu, Presiden Indonesia Joko Widodo telah berjanji untuk melarang pembukaan lahan gambut baru, termasuk yang sudah memperoleh ijin. Greenpeace meminta kepada Presiden, agar kebijakan baru ini dilaksanakan sepenuhnya oleh perusahaan dan diawasi oleh pemerintah.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...