Guru Besar Bakdi Soemanto Tutup Usia
“Untuk apa mengadu kesaktian jika tujuannya hanya untuk menunjukkan yang lebih unggul? Bukankah Sang Maha Pencipta tetap yang paling unggul di atas segala-galanya?” – Bakdi Soemanto
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada sekaligus kritikus sastra C. Soebakdi Soemanto atau yang lebih dikenal dengan Prof. Dr. Bakdi Soemanto tutup usia pada Sabtu (11/10) dini hari di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Bakdi wafat di usia 74 tahun.
Dilansir dari harian lokal Yogyakarta, Kedaulatan Rakyat, Bakdi memang telah dirawat di rumah sakit sejak sepekan lalu. Walaupun kesehatannya terus menurun, pihak keluarga telah berupaya memaksimalkan kesembuhan beliau. Pagi tadi, jenazah telah dibawa pulang ke rumah duka yang beralamat di Gang Bego, Demangan, Caturtunggal, Depok, Sleman.
Sekilas tentang Bakdi Soemanto
Bakdi Soemanto lahir di Solo pada 29 Oktober 1941. Bakdi Soemanto selain dikenal sebagai kritikus sastra, ia juga dikenal sebagai kritisi teater yang tajam, dan seorang cerpenis. Dalam perjalanan studinya, Bakdi menyelesaikan pendidikan di jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra UGM (1977) dan mengikuti "American Studies Program" di Universitas Indonesia (1982). Bakdi menyelesaikan program pascasarjana di UGM (1985).
Ia pernah mengajar di IKIP Sanata Darma pada 1971 – 1979, Akademi Kewanitaan Yogyakarta pada 1976 – 1979, Akademi Bahasa Asing Kumendaman Yogyakarta pada 1979 – 1982, Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret Solo pada 1979 – 1982, Oberlin College dan Northern Illinois University Amerika Serikat pada 1986 – 1987.
Selain itu, ia pernah menjadi redaktur di beberapa media, seperti Basis pada 1965 – 1967, Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Tengah pada 1966 – 1969, Peraba pada 1971 – 1976, dan Semangat pada 1975 – 1979.
Dilansir dari laman tembi rumah budaya (tembi.net), Bakdi pernah menjadi Ketua Umum Dewan Kesenian Yogyakarta dan memperoleh penghargaan di bidang teater pada Desember 2013.
Bakdi juga telah menulis banyak karya. Beberapa karya Bakdi di antaranya antologi cerpen Tart di Bulan Hujan, Bibir, Doktor Plimin, antologi puisi Kata, dan Cerita Rakyat dari Yogyakarta 2 .
Banjir Duka
Beberapa jam setelah kabar Bakdi Soemanto wafat, ucapan dari berbagai kalangan duka membanjiri media sosial.
Melalui akun Twitternya, budayawan Butet Kertaredjasa dalam @masbutet menulis, “Selamat jalan Prof Bakdi Soemanto. Swarga menunggu kehadiran njenengan pak. Sakestu.”
Sastrawan Agus Noor dalam akun Twitter @agus_noor menulis, “Pak Bakdi Soemanto, selamat jalan. Saya, secara pribadi, banyak belajar dan dibimbing oleh beliau saat jadi mahasiswanya.”
Sementara itu, wartawan senior Sunudaryanto dalam akun Twitter @Sunudaryanto juga turut mengucapkan rasa duka citanya. “Nderek sungkawa (turut berduka –red),” katanya.
Yuliana Ratna, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya menulis dalam akun Twitternya, “Selamat jalan, Pak Bakdi Soemanto. Terima kasih atas pertemuan dan pengetahuan yang bapak bagi pada kami di @teatergarasi #RIP #BS.”
Di sisi lain, musisi lokal Yogyakarta, Achi Pradipta dalam akun Twitter @achipradipta_ mengatakan bahwa Bakdi Soemanto telah wafat.
“#RIP Prof.Bakdi Soemanto, 11 Okt (03.00 WIB); ayah dari Woody, Krishna, Pipit. Jenazah disemayamkan di Panti Rapih.”
kalimatnya yang selalu dikenang ialah, "Untuk apa mengadu kesaktian jika tujuannya hanya untuk menunjukkan yang lebih unggul? Bukankah Sang Maha Pencipta tetap yang paling unggul di atas segala-galanya?"
Editor : Bayu Probo
Puluhan Anak Muda Musisi Bali Kolaborasi Drum Kolosal
DENPASAR, SATUHARAPAN.COM - Puluhan anak muda mulai dari usia 12 tahun bersama musisi senior Bali be...