Hadapi China, NATO Dekati Mitranya di Asia di Bawah Kepemimpinan AS
WASHINGTON DC, SATUHARAPAN.COM-Pada tahun ketiga perang di Ukraina, NATO bersiap untuk memperdalam hubungan dengan empat mitranya di Indo-Pasifik, yang, meskipun bukan bagian dari aliansi militer, menjadi terkenal seiring Rusia dan China menjalin hubungan yang lebih erat untuk melawan Amerika Serikat, dan kedua Korea mendukung pihak yang berlawanan dalam konflik di Eropa.
Para pemimpin Selandia Baru, Jepang dan Korea Selatan untuk tahun ketiga berturut-turut akan menghadiri KTT NATO, yang dimulai hari Selasa (9/7) di Washington DC, sementara Australia akan mengirimkan wakil perdana menterinya. China akan menmantau KTT ini dengan cermat, karena khawatir dengan semakin besarnya minat aliansi ini di luar Eropa dan Belahan Barat.
“Semakin banyak mitra di Eropa yang melihat tantangan di belahan dunia lain di Asia sebagai hal yang relevan bagi mereka, sama seperti mitra di Asia yang melihat tantangan di belahan dunia lain di Eropa sebagai hal yang relevan bagi mereka,” kata Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, pekan lalu.
Diplomat terkemuka Amerika itu mengatakan bahwa Amerika telah berupaya untuk meruntuhkan hambatan antara aliansi Eropa, koalisi Asia, dan mitra lainnya di seluruh dunia. “Itu adalah bagian dari lanskap baru, geometri baru yang kami terapkan.”
Negara-negara yang memiliki kekhawatiran yang sama terhadap keamanan memperkuat hubungan seiring meningkatnya persaingan antara Amerika Serikat dan China. Washington sedang berusaha untuk mengekang ambisi Beijing untuk menantang tatanan dunia yang dipimpin oleh Amerika, yang oleh pemerintah China dianggap sebagai mentalitas Perang Dingin yang bertujuan untuk membendung kebangkitan China yang tidak bisa dihindari.
Pada hari Senin, Beijing menanggapi dengan marah laporan yang belum dikonfirmasi bahwa NATO dan empat mitranya di Indo-Pasifik diperkirakan akan merilis dokumen yang menguraikan hubungan dan kemampuan mereka untuk bersama-sama merespons ancaman serangan siber dan disinformasi.
Lin Jian, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, menuduh NATO “melanggar batasannya, memperluas mandatnya, melampaui zona pertahanannya dan memicu konfrontasi.”
Perang di Ukraina, yang mempertemukan Barat melawan Rusia dan sekutunya, telah memperkuat argumen untuk kerja sama yang lebih erat antara AS, Eropa, dan sekutu mereka di Asia. “Ukraina saat ini, mungkin terjadi Asia Timur di masa depan,” kata Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida, kepada Kongres AS pada bulan April.
AS dan Korea Selatan menuduh Pyongyang memasok amunisi ke Rusia, sementara Presiden Rusia, Vladimir Putin, mengunjungi Korea Utara bulan lalu dan menandatangani perjanjian dengan pemimpin Kim Jong Un yang menginginkan bantuan militer timbal balik.
Korea Selatan dan Jepang, sementara itu, mengirimkan pasokan militer dan bantuan ke Ukraina. AS juga mengatakan China memberi Rusia peralatan mesin, mikroelektronik, dan teknologi lain yang memungkinkan negara itu membuat senjata untuk digunakan melawan Ukraina.
Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, akan menyampaikan ke Washington “pesan yang kuat mengenai kerja sama militer antara Rusia dan Korea Utara dan membahas cara-cara untuk meningkatkan kerja sama di antara sekutu NATO dan mitra Indo-Pasifik,” wakil penasihat keamanan nasional utamanya, Kim Tae-hyo , kepada wartawan, hari Jumat (5/7).
Perdana Menteri Selandia Baru, Christopher Luxon, mengatakan diskusi akan “fokus pada upaya kolektif kita untuk mendukung sistem berbasis aturan.”
Kemitraan ini tidak menjadikan NATO sebagai pemain langsung di Indo-Pasifik tetapi memungkinkan NATO untuk berkoordinasi dengan keempat mitra tersebut mengenai isu-isu yang menjadi perhatian bersama, kata Mirna Galic, analis kebijakan senior mengenai China dan Asia Timur di Institut Perdamaian AS. Misalnya, tulisnya dalam sebuah analisis, mereka dapat berbagi informasi dan menyelaraskan tindakan seperti sanksi dan pemberian bantuan tetapi tidak melakukan intervensi dalam krisis militer di luar wilayah mereka sendiri.
KTT NATO akan memungkinkan Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa dan Indo-Pasifik untuk melawan China, Rusia, Korea Utara, dan Iran, menurut Luis Simon, direktur Pusat Diplomasi dan Strategi Keamanan di Vrije Universiteit Brussel.
“Fakta bahwa aliansi Euro-Atlantik dan Indo-Pasifik dibangun berdasarkan jangkar yang jelas – kekuatan militer AS – membuat mereka lebih kohesif dan memberi mereka keunggulan strategis dibandingkan dengan kemitraan saling terkait yang mengikat China, Rusia, Iran, dan Korea Utara,” tulis Simon dalam komentarnya pekan lalu di War On the Rocks, sebuah situs pertahanan dan urusan luar negeri.
Beijing khawatir dengan poros NATO ke timur, kata Zhu Feng, dekan Sekolah Studi Internasional di Universitas Nanjing di China timur. Beijing bersikeras bahwa NATO tidak ikut campur dalam urusan keamanan di Indo-Pasifik dan bahwa NATO harus melakukan perubahan mengubah pandangannya tentang China sebagai musuh strategis.
“NATO harus mempertimbangkan China sebagai kekuatan positif bagi perdamaian dan stabilitas regional serta keamanan global,” kata Zhu. “Kami juga berharap perang Ukraina dapat berakhir sesegera mungkin… dan kami menolak kembalinya hubungan segitiga dengan Rusia dan Korea Utara.”
“Di dunia yang bergejolak dan rapuh saat ini, Eropa, Amerika Serikat, dan China harus memperkuat kerja sama global dan regional,” kata Zhu.
NATO dan China hanya memiliki sedikit konflik hingga ketegangan meningkat antara Beijing dan Washington pada tahun 2019, pada tahun yang sama ketika KTT NATO di London mengangkat China sebagai “tantangan” yang “perlu kita atasi bersama sebagai sebuah aliansi.” Dua tahun kemudian, NATO meningkatkan status China menjadi “tantangan sistemik” dan mengatakan Beijing “bekerja sama secara militer dengan Rusia.”
Setelah Rusia menginvasi Ukraina pada tahun 2022, para pemimpin Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru menghadiri pertemuan puncak NATO untuk pertama kalinya, di mana pernyataan-pernyataan mencatat tantangan geopolitik yang ditimbulkan oleh China. Beijing menuduh NATO “bekerja sama dengan pemerintah AS untuk melakukan penindasan menyeluruh terhadap China.”
Kini, Beijing khawatir Washington membentuk aliansi mirip NATO di Indo-Pasifik.
Kolonel Senior China, Cao Yanzhong, seorang peneliti di Institut Studi Perang China, bertanya kepada Menteri Pertahanan AS, Lloyd Austin, bulan lalu apakah AS sedang mencoba menciptakan NATO versi Asia dengan menekankan kemitraan dan aliansi. Negara-negara tersebut termasuk kelompok AS dengan Inggris dan Australia; satu lagi dengan Australia, India dan Jepang; dan satu dengan Jepang dan Korea Selatan.
“Menurut Anda, apa implikasi penguatan sistem aliansi AS di Asia-Pasifik terhadap keamanan dan stabilitas kawasan ini?” Cao bertanya pada pertemuan puncak keamanan Dialog Shangri-la di Singapura.
Austin menjawab bahwa AS hanya bekerja sama dengan “negara-negara yang berpikiran sama dengan nilai-nilai yang sama dan visi yang sama tentang Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.”
Beijing punya kesimpulan tersendiri. “Maksud sebenarnya dari strategi Indo-Pasifik AS adalah untuk mengintegrasikan semua lingkaran kecil ke dalam lingkaran besar sebagai NATO versi Asia guna mempertahankan hegemoni yang dipimpin oleh Amerika Serikat,” kata Letjen China, Jing Jianfeng, di acara tersebut. (AP)
Editor : Sabar Subekti
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...