HAM PBB Minta China Tinjau Kembali Kebijakan Kontra Terorisme
BEIJING, SATUHARAPAN.COM-Kepala hak asasi manusia PBB, Michelle Bachelet, yang baru saja mengunjungi China dan dikritik oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia dan negara-negara Barat, mengatakan bahwa dia mendesak Beijing untuk meninjau kembali kebijakan kontra terorismenya untuk memastikan mereka mematuhi standar hak asasi manusia internasional.
Bachelet menegaskan bahwa perjalanan enam harinya, yang berakhir pada hari Sabtu (28/5) dan termasuk kunjungan ke wilayah barat Xinjiang, bukanlah penyelidikan terhadap kebijakan hak asasi manusia China tetapi kesempatan untuk terlibat dengan pemerintah.
Bachelet memulai perjalanannya ke China, yang pertama oleh Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB dalam 17 tahun, pada hari Senin di kota selatan Guangzhou sebelum menuju ke Xinjiang.
Kantornya mengatakan tahun lalu mereka percaya orang-orang Uyghur di Xinjiang telah ditahan secara tidak sah, dianiaya dan dipaksa bekerja.
“Saya telah mengajukan pertanyaan dan kekhawatiran tentang penerapan langkah-langkah kontra terorisme dan deradikalisasi di bawah penerapan yang luas, khususnya dampak pada hak asasi manusia komunitas Uyghur dan minoritas Muslim lainnya,” katanya dalam konferensi pers online pada hari Sabtu. China membantah semua tuduhan pelecehan di Xinjiang.
Akses Bachelet dibatasi karena China mengatur agar dia melakukan perjalanan dalam "lingkaran tertutup," mengisolasi orang-orang dalam gelembung virtual dengan alasan mencegah penyebaran COVID-19, tanpa pers asing.
Kelompok hak asasi manusia dan negara-negara Barat khawatir bahwa China akan menggunakan perjalanannya sebagai dukungan atas catatan HAM-nya. Juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Ned Price, mengatakan pada hari Selasa bahwa "adalah suatu kesalahan untuk menyetujui kunjungan dalam keadaan seperti itu."
China awalnya membantah keberadaan kamp penahanan di Xinjiang tetapi pada 2018 mengatakan telah mendirikan “pusat pelatihan kejuruan” yang diperlukan untuk mengekang apa yang dikatakannya sebagai terorisme, separatisme, dan radikalisme agama di wilayah tersebut.
Bachelet mengatakan dia menyampaikan kepada pemerintah China tentang kurangnya pengawasan yudisial yang independen atas pengoperasian pusat-pusat itu dan tuduhan penggunaan kekerasan, perlakuan buruk dan pembatasan ketat pada praktik keagamaan.
Pada tahun 2019, Gubernur Xinjiang, Shohrat Zakir, mengatakan semua peserta pelatihan telah “lulus.”
Selama briefing media, Bachelet juga menggambarkan sebagai “sangat mengkhawatirkan” penahanan aktivis, pengacara, dan jurnalis di Hong Kong. (Reuters)
Editor : Sabar Subekti
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...