Haminjon, Emas dari Tanah Batak
SATUHARAPAN.COM – Haminjon atau lebih dikenal dengan kemenyan memiliki sejarah yang sangat berharga bagi masyarakat di Tanah Batak. Getah pohon yang beraroma harum ini diwarnai dengan cerita rakyat yang menyiratkan seorang putri cantik dari keluarga miskin. Ia nekat melarikan diri ke hutan lantaran dipaksa menikah dengan Raja untuk melunasi utang orangtuanya.
Dari cerita inilah dipercayai bahwa sang putri yang tidak henti menangis di tengah hutan berubah menjadi sebuah pohon. Air matanya pun dipercaya berupa getah harum yang keluar dari pohon tersebut.
Kehadiran pohon kemenyan diyakini para leluhur Tanah Batak sebagai anugerah dari Yang Maha Kuasa, karena pohon Haminjon mampu ‘memberi’ nafkah kepada mereka. Dipercaya pula oleh masyarakat di Tapanuli Utara, Sumatera Utara, bahwa Haminjon merupakan salah satu persembahan yang dibawa orang Majuz untuk bayi Yesus Kristus yang saat itu baru dilahirkan di Betlehem.
Orang Majuz yang membawa kemenyan itu diperkirakan datang dari Pelabuhan Barus, Tapanuli, kemudian berlayar menuju Timur Tengah hingga ke Betlehem. Kemenyan menjadi persembahan untuk bayi Yesus di samping persembahan emas dan mur.
Oleh karena itulah, seperti juga diyakini oleh masyarakat Batak, mereka begitu dekat dengan Kekristenan dan dengan sosok Nabi Isa, atau Yesus Kristus.
Emas
Dahulu, harga kemenyan bisa disamakan dengan harga emas. Permintaan akan getah kayu yang harum ini juga datang dari berbagai belahan dunia karena kegunaannya. Selain sebagai pelengkap dalam ritual keagamaan, kemenyan atau dalam bahasa kimianya disebut Styrax Benzoin juga banyak digunakan sebagai campuran rokok yang kebanyakan diisap oleh masyarakat pedesaan di Jawa Tengah.
Masa jaya kemenyan sebagai komoditas berlangsung sejak tahun 1919, ketika produksi kemenyan di Tapanuli Utara mencapai 1.819.419 kilogram dengan nilai jual mencapai 1.575.937 Gulden atau sekitar 1,5 juta Rupiah (sebuah angka yang fantastis pada zaman itu). Alhasil, Haminjon menempati posisi ke-3 pada bursa perdagangan hasil bumi, menyusul karet, kopra, dan kopi.
Namun, minimnya pengetahuan pedagang atas harga kemenyan, membuka celah bagi permainan harga. Hal inilah yang kemudian menyebabkan harga kemenyan jatuh. Padahal, dalam menghasilkan kemenyan, diperlukan doa-doa dan hati yang tulus.
Untuk dapat memanen, petani kemenyan harus menunggu tiga bulan lamanya. Getah pertama adalah getah yang dipatok dengan harga tinggi, berbeda dengan getah ke-2 yang disebut Jurur, atau getah ke-3 hang disebut Tahir, yang dipatok dengan harga jauh lebih murah.
Pohon Haminjon hanya tumbuh di ketinggian 900 hingga1200 meter di atas permukaan laut dengan suhu 28 hingga 30 derajat Celcius. Berbeda dengan karet, penyadapan getah kemenyan tidak memerlukan wadah, melainkan dibiarkan meleleh di batang pohon.
Akankah Haminjon kembali berjaya?
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...