Hanbeet Rhee: “Orang Muda Bisa Jadi Jembatan”
SATUHARAPAN.COM – Serangkaian wawancara dilakukan dengan duta Thursdays in Black, menyoroti mereka, yang memainkan peran penting menindaklanjuti dampak seruan kolektif bagi dunia tanpa pemerkosaan dan kekerasan, yang diprakarsai Dewan Gereja Dunia (World Council of Churches/WCC)..
Kali ini, oikoumene.org, pada 17 Oktober 2019, menampilkan wawancara dengan Hanbeet Rhee, dari Gereja Presbyterian Korea, anggota Dewan Pemuda Ekumenis di Korea. Ia juga seorang komisioner program ECHOS WCC, serta penasihat pemuda untuk Komite Pusat WCC.
Bagaimana Anda terlibat dengan Thursdays in Black?
Rhee: Saya secara alami terlibat dalam kampanye ini. Pada awalnya, saya belajar tentang kampanye ini dengan berpartisipasi dalam pertemuan Komite Sentral WCC. Setelah itu, saya mulai mengenakan pakaian hitam pada hari Kamis, terutama ketika menghadiri pertemuan ekumenis, termasuk pertemuan komisi ECHOS.
Bagaimana ini diadopsi di gereja Anda?
Rhee: Tidak banyak gereja Korea Selatan yang tertarik dengan kampanye ini. Tetapi, ada beberapa orang kuat yang terlibat dalam kampanye, terutama mereka yang menentang diskriminasi gender dan kekerasan di gereja.
Apa yang dapat disumbangkan kaum muda untuk kampanye Thursdays in Black?
Rhee: Kaum muda bisa menjadi jembatan. Pertama menghubungkan kampanye ini dengan kehidupan mereka, dan menghubungkan berbagai generasi dengan gerakan ini.
Banyak anak muda, terutama wanita muda, mengalami kekerasan berbasis gender secara fisik, mental, dan terstruktur, dan aspek-aspeknya berubah dari masa lalu. Jadi keterlibatan kaum muda dalam Thursdays in Black akan memperluas spektrum gerakan ini. Dan saya pikir kampanye ini mencakup semua generasi, karena hampir setiap orang tidak bebas dari kekerasan berbasis gender, dari orang yang lebih tua hingga anak-anak yang sangat muda. Partisipasi kaum muda akan membuat gerakan kita lebih meluas dan memadai, melampaui ekspansi kelompok usia kita.
Mengapa penting melibatkan remaja?
Rhee: Sebagai salah satu pemuda, saya akan mengatakan: “Karena Thursdays in Black adalah gerakan kami.” Kami, juga orang-orang yang hidup di dunia ini, yang terkena kekerasan berbasis gender. Di dunia ini, kita mungkin menjadi korban, dan kita mungkin menjadi pelaku ketidaktahuan, karena banyak kekerasan bersembunyi di dalam struktur kekuasaan, dalam budaya, dalam ideologi.
Tetapi melalui kampanye ini, kaum muda bisa mendapatkan kesempatan untuk mengetahui apa itu kekerasan berbasis gender, dan, lebih jauh, kita bisa mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam solidaritas bagi para korban, atau kadang-kadang kita sendiri.
Anda melihat perubahan dalam cara orang mendekati masalah gender atau masalah kekerasan?
Rhee: Secara pribadi, dalam mengenakan pakaian hitam, saya bisa melihat lebih banyak tentang kenyataan yang dihadapi berbagai perempuan dan minoritas, dan bisa merasakan lebih banyak solidaritas merangkul luka, dan bergandengan tangan. Setiap kali saya memperkenalkan kampanye ini dan meminta untuk bergabung, saya melihat visibilitas orang ke dalam masalah kekerasan dan diskriminasi meluas, dan saya melihat perubahan pemikiran orang-orang tentang mengapa solidaritas diperlukan.
Apa pesan Anda tentang langkah pertama yang harus diambil seseorang?
Rhee: Ayo, pakai pakaian hitam (di hari Kamis). Hitam akan menuntun kita ke keadilan.
Editor : Sotyati
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...