Hanura Dukung Opsi Bangun Kilang Blok Masela di Laut
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Anggota Komisi VII DPR RI, Inas Nasrullah Zubir, mendukung pembangunan kilang gas alam cair di Blok Masela dengan skema kilang apung atau Floating Liquified Natural Gas (FLNG) di laut.
Hingga saat ini Pemerintah masih mengkaji terkait keputusan pengembangan Blok Masela di Maluku. Dalam pembahasan Blok Masela terjadi perdebatan antara kilang darat (onshore) atau kilang laut (offshore).
Menurut Inas, polemik atas opsi pengembangan gas Blok Masela, Maluku, semakin lama semakin memprihatinkan.
“Pihak-pihak yang ingin membelokkan skema pengembangan Kilang LNG Terapung (FLNG) menjadi kilang darat (Onshore Liquified Natural Gas/OLNG) sedemikian gencar berusaha mengisi ruang publik untuk mempengaruhi pengambil kebijakan melalui berbagai cara, baik melalui opini, diskusi-diskusi, konferensi pers, lobby, dan sebagainya,” kata Inas kepada satuharapan.com dalam keterangan tertulis, hari Senin (7/3).
“Berbagai argumentasi dan data-data dilontarkan ke publik tanpa kita ketahui persis apa basis pemikirannya. Yang terakhir, dan yang paling menimbulkan banyak pertanyaan publik adalah pernyataan dari Menko Maritim dan Sumber Daya, bahwa Presiden RI, Joko Widodo, telah memutuskan opsi OLNG. Namun ternyata “jauh api dari panggang”, klaim tersebut dibantah sendiri oleh pihak Istana. Lantas, apa sebenarnya motif dibalik upaya-upaya pembelokan itu? Wallahu a’lam...!” tulisnya.
Inas mengaku dirinya tidak berniat untuk menelisik motif pihak-pihak tersebut. Yang terpenting, kata dia, adalah memahami secara rasional apa alasan atas pilihan FLNG untuk Blok Masela.
Politisi dari Fraksi Hanura ini mendukung Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai pemegang otoritas resmi atas pengawasan, pengendalian dan pengelolaan industri hulu migas di Tanah Air yang telah menyetujui opsi FLNG di Blok Masela.
“SKK Migas dan INPEX Corporation, selaku operator Blok Masela, melakukan kajian terhadap opsi terbaik pengembangan blok Masela berdasarkan prinsip-prinsip engineering practice yang sesuai dengan kaidah-kaidah yang umum dilakukan dalam industri hulu migas di dunia,” katanya.
“Evaluasi dilakukan secara menyeluruh berdasarkan metodologi yang jelas, mengkaji seluruh aspek yang terkait dengan proyek ini baik aspek teknis, finansial, keekonomian, lingkungan, dan sebagainya. Kajian komprehensif ini membutuhkan waktu lebih dari 100.000 jam kerja (manhours), yang berlangsung sejak sejak tahun 2012 hingga tahun 2014,” dia menambahkan.
Menurut dia, pilihan atas teknologi FLNG yang pasti bukan untuk coba-coba atau riset, sebab taruhannya terlalu besar bagi kontraktor.
“Karena jika proyek ini gagal maka kontraktor-lah yang akan menanggung semua kerugian, bukan pemerintah. Karena jika proyek ini gagal maka tidak akan ada produksi gas (dan kondensat) yang dihasilkan, dan konsekuensinya tidak akan ada Cost Recovery. Itu adalah salah satu isi dari Kontrak Bagi Hasil (Production sharing Contract),” katanya.
Sejatinya, lanjut Inas, tujuan utama pembangunan LNG plant adalah untuk kemudahan pengiriman gas. Menurutnya, dalam bentuk cair volumenya akan jauh lebih kecil sehingga tanker dapat muat banyak.
“Ketika kilang LNG bisa diparkir di atas Masela, maka ini adalah solusi pintar. Tidak perlu meletakkan subsea pipeline sejauh 600 km atau 170 km ke pulau Aru atau Tanimbar. Harganya mahal, waktu pengerjaan lama. Maintenance dari subsea pipeline juga perlu duit tidak sedikit,” dia menegaskan.
Berdasarkan Kajian
Berdasarkan kajian Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya, biaya pembangunan kilang darat (onshore) sekitar US$ 16 miliar. Sedangkan jika dibangun kilang apung di laut (offshore), nilai investasinya lebih mahal mencapai US$ 22 miliar. Dengan demikian, kilang di darat lebih murah US$ 6 miliar dibandingkan dengan kilang di laut.
Angka ini sangat berbeda dengan perkiraan biaya dari Inpex dan Shell. Keduanya kompak menyatakan, pembangunan kilang offshore hanya menelan dana US$ 14,8 miliar. Sedangkan pembangunan kilang di darat, mencapai US$ 19,3 miliar.
Inpex dan Shell diduga telah menggelembungkan anggaran pembangunan kilang di darat. Sebaliknya, mereka justru mengecilkan biaya pembangunan di laut.
Seandainya pembangunan kilang dilaksanakan di laut, maka Indonesia hanya akan menerima pemasukan US$ 2,52 miliar setiap tahun dari penjualan LNG. Angka itu pun diperoleh dengan asumsi harga minyak US$ 60 per barel.
Sebaliknya dengan membangun kilang di darat, gas LNG itu sebagian bisa dimanfaatkan untuk industri pupuk dan petrokimia. Dengan cara ini, negara dapat mengantongi pendapatan mencapai US$ 6,5 miliar per tahun.
Sementara itu, kajian yang dilakukan oleh lembaga internasional, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) dan beberapa universitas ternama seperti Universitas Indonesia mengenai skema terbaik untuk pengembangan Blok Masela cenderung memilih skema pengolahan di laut (offshore).
Dengan skema offshore, ada dana sekitar Rp 5 triliun yang bisa disisihkan setiap tahun. Dana penghematan inilah yang akan dikelola oleh Badan Pelaksana Percepatan Pembangunan untuk pengembangan wilayah Maluku, yang merupakan lokasi Blok Masela.
Sampai dengan saat ini proses pembahasan keputusan pengembangan Blok Masela masih terus dilakukan Pemerintah.
Editor : Bayu Probo
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...