Harga Beras di RI Termahal di Asia Tenggara - Satu Harapan
EKONOMI
Penulis: Eben E. Siadari 12:41 WIB | Selasa, 20 Desember 2016

Harga Beras di RI Termahal di Asia Tenggara

Ilustrasi. Buruh memikul karung beras Bulog dari truk ke kapal di Pelabuhan Rakyat Luwuk, Banggai, Sulawesi Tengah, hari Sabtu (3/12/2015). Sebanyak 25 ton beras didistribusikan ke daerah Kepulauan Banggai untuk memenuhi kebutuhan beras di wilayah tersebut. (Antara Foto/Fiqman Sunandar)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Demi mengejar swasembada pangan, Indonesia selama ini menerapkan kebijakan yang cukup ketat terhadap impor komoditas pangan. Namun, tanpa banyak diungkap oleh media, kebijakan itu telah membebani konsumen dalam bentuk pembayaran pajak impor yang besar.

Akibatnya, konsumen Indonesia membayar pajak pangan tiga kali lebih besar daripada yang dibayar oleh konsumen Eropa. Selain itu, komoditas pangan di dalam negeri juga jadi mahal; harga beras di RI termahal di Asia Tenggara.

Hal ini terungkap dalam sebuah laporan yang ditulis oleh wartawan senior, John McBeth, menurunkan laporannya tentang hal ini di South China Morning Post (SCMP), lewat sebuah tulisan berjudul Why do Indonesians Pay Three Times as Much Food Tax Europeans?.

Ia mempertanyakan kenapa banyak media tidak berbicara ketika Bank Dunia belum lama ini mengungkapkan bahwa demi swa sembada pangan, konsumen harus membayar puluhan miliar dolar AS yang membuat harga beras di Indonesia paling mahal di Asia Tenggara.

Dalam tulisannya, McBeth mengutip seorang mantan pejabat perdagangan yang mengatakan bahwa keseluruhan politik pangan di Indonesia kacau. Ia mengatakan hal ini terutama mengacu kepada betapa kerasnya pemerintah menolak kebijakan impor pangan.

Penelitian terbaru oleh Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menemukan penduduk Indonesia dipajaki setara US$ 98 miliar pda rentang waktu 2013 hingga 2015, sebagai akibat dari restriksi impor dan intervensi pemerintah pada pasar dan pertanian. Tahun lalu saja, biaya yang harus ditanggung konsumen diperkirakan mencapai US$ 36 miliar. Ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan pajak yang dibebankan kepada konsumen di 28 negara Uni Eropa sebesar US$ 22 miliar.

Laporan triwulanan Bank Dunia bulan Oktober di Indonesia mengatakan bahwa apabila beban pajak itu dikonversikan secara perkapita, maka konsumen Indonesia membayar US$ 1.300, sedangkan penduduk Uni Eropa hanya membayar US$ 437, Vietnam US$ 189. Harga beras di Vietnam adalah US$ 300 per ton, jauh di bawah harga di Indonesia yang US$ 800 per ton.

Harga beras di Indonesia, kata McBeth, sering digambarkan sensitif secara politis, seperti juga harga BBM. Namun kebanyakan orang Indonesia tidak menyadari bahwa mereka membayar lebih mahal untuk bahan pokok itu dibanding di negara mana saja di kawasan, kecuali Filipina.

Warga Indonesia, kata McBeth, kemungkinan juga tidak tahu bahwa mereka membayar 25-50 persen lebih mahal untuk komoditas  seperti telur, ayam, wortel dan mangga dibanding para pembeli di Singapura, yang mengimpor hampir semua makanan - termasuk sejumlah besar dari Indonesia.

Penelitian Bank Dunia menemukan bahwa dampak total dari struktur tarif impor saat ini telah membuat harga pangan lebih mahal 83 persen dibandingkan apabila pemerintah menerapkan perdagangan bebas.

McBeth mengutip rencana Presiden Joko Widodo  yang ingin mencapai swasembada beras pada 2017. Di antaranya dengan rencana ambisius untuk merehabilitasi satu juta hektar sawah irigasi dan menaikkan harga pembelian beras pemerintah sebesar 10 persen, menjadi  Rp 7,260 per kg. Namun bila mengacu pada harga pasar beras pada tahun 2015 yang lebih mahal 68 persen dibandingkan dari harga yang seharusnya, menurut McBeth, swasembada jadi memiliki pengertian sangat berbeda dari pengertian mencapai ketahanan pangan. Sebab ketahanan pangan pada dasarnya adalah ketika setiap orang memiliki akses kepada makanan untuk memenuhi kebutuhan gizi mereka.

Mengakhiri tulisannya, John McBeth mengutip pendapat Concord Consulting yang baru-baru ini mengatakan, bahwa Presiden Joko Widodo menetapkan tujuan yang kemungkinan tidak akan dapat dicapai, berpotensi memberi lawan-lawannya amunisi untuk menyerang dia ketika publik menyadari dia tidak bisa memenuhi janjinya."


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home