Hari Bumi: Refleksi dan Transformasi
SATUHARAPAN.COM – “Kita tidak bisa dan tidak boleh mengabaikan teriakan planet Bumi kita untuk memulihkan hubungan yang lebih harmonis antara manusia dan alam. Kita juga tidak boleh kehilangan kesempatan untuk bekerja secara harmonis demi kebaikan bersama."
Pernyataan itu disampaikan oleh Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), John Ashe, dalam peringatan hari Bumi Internasional (International Mother Earth Day), hari Selasa (22/4) di markas besar PBB di New York.
PBB menunjukkan bukti dari para pakar lingkungan bahwa populasi manusia secara global saat ini telah menggunakan sumber daya alam begitu besar yang belum pernah terjadi di muka bumi ini, dan dengan peningkatan yang begitu cepat. Disebutkan bahwa manusia mengkonsumsi 50 persen lebih sumber daya dari yang bisa diberikan oleh planet kita ini.
Zaman ini telah disebut sebagai Era Antropocene oleh para ilmuwan. Era di mana gaya hidup manusia, tindakan manusia, teknologi yang digunakan dan praktiknya tidak dapat ditarik kembali segala dampak negatif yang ditimbulkan terhadap alam. Perilaku manusia telah menempatkan kelangsungan hidup banyak spesies terancam, dan sumber daya lain terkuras.
Mengakui Situasi
Peringatan Hari Bumi ini haruslah menjadi pesan yang kuat untuk sebuah kesempatan merefleksikan hubungan manusia dengan planet ini. Sebab, relasi ini akan terkait dengan kelangsungan hidup manusia sendiri; tentang udara yang kita hirup, air yang kita minum, tentang tanah di mana tumbuh dan hidup sumber makanan. Bahkan juga tentang bagian dari ekosistem global yang begitu halus yang belakangan ini semakin berada di bawah tekanan akibat aktivitas manusia.
Dengan demikian kita harus mengakui bahwa pertumbuhan populasi manusia dan perubahan perilaku yang konsumtif, bahkan cenderung serakah, telah menguras sumber daya planet ini, bahkan mengancam keberlanjutan kehidupan planet ini.
Refelaksi ini juga menyangkut tentang hubungan yang harmonis di antara manusia. Konsumsi yang berlebihan, bahkan keserakahan bukan saja menyangkut ketidakadilan pada sumber daya alam yang pada dasarnya terbatas, tetapi juga merenggut kesempatan bagi manusia lain, dan menciptakan ketidakadilan.
Relasi yang tidak harmonis manusia dengan alam juga didorong oleh relasi yang tidak adil di antara manusia. Membangun keadilan akan memberi landasan pada relasi yang harmonis dan menghormati martabat segala yang hidup. Dan dalam konteks Hari Bumi ini, kita juga harus mengakui dan berani berefleksi atas masih maraknya ketidak-adilan di antara manusia.
Transformasi
Peringatan Hari Bumi harus menjadi kesempatan refleksi atas relasi antara manusia dan antara manusia dan alam. Dan refleksi ini semestinya menjadi kekuatan untuk terjadinya perubahan yang dimulai dari manusia. Sebagai ciptaan yang paling mulia, manusia sebagai individu dan kelompok semestinya mengambil inisiatif untuk transformasi ini.
Menghadapi ancaman kerusakan lingkungan yang akan berdampak pada manusia sendiri, kita membutuhkan transformasi global dalam sikap dan praktik. Sangat mendesak untuk membangun keadilan dan pemerataan dalam pemanfaatan sumber daya alam, dan membangun keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian.
Kita membutuhkan perubahan sikap dan praktik dalam menghasilkan dan memanfaatkan energi yang berkesinambungan dan minim dampak pada lingkungan. Kita membutuhkan transformasi perilaku untuk menyelamatkan paru-paru dunia dengan menjaga hutan tropis, tanpa silau oleh kemilau emas yang ada di dalamnya. Kita membutuhkan transformasi dalam perilaku menangkap ikan di laut yang menjaga proses pemulihan untuk menyediakan pangan yang berkesinambungan dan adil. Bukan menguras untuk memenuhi selera pesta pora, sementara nelayan dan penduduk pesisir hidup miskin, dan ikan makin habis.
Kita harus mentrasformasi diri untuk menjadi kekuatan yang menjaga langit tetap biru, dan meninggalkan perilaku yang menyebarkan polutan ke udara, bahkan ke paru-paru kita. Kita harus berubah dalam menghargai air sebagai kebutuhan yang mutlak dalam hidup manusia. Kita harus sadar bahwa manusia tak bisa hidup tanpa air. Air lebih berharga dari emas dan batubara.
Masalahnya sekarang, apa yang harus dilakukan? Ini adalah pertanyaan yang jawabannya telah disajikan para pakar yang selama ini terus diabaikan oleh manusia di bumi ini. berbagai penelitian makin tegas menjelaskan bahwa kerusakan alam sebagian besar disebabkan perilaku manusia.
Oleh karena itu, pertanyaan itu tampak sudah seharusnya diubah menjadi: perlu berapa tahun dan berapa kali Hari Bumi diperingati agar kita bersedia mengalami transformasi? Dan ini adalah pertanyaan sederhana yang bernada "menghina", karena bertanya tetang seberapa bebal diri kita.
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...