Sibuk Koalisi; Sibuk untuk Apa dan Siapa?
SATUHARAPAN.COM - Para pimpinan partai tengah sibuk menjajagi koalisi untuk menentukan calon presiden pada pemilihan presiden Juli mendatang. Sementara di Komisi Pemilihan Umum (KPU) proses penghitungan suara pemilihan umum legislatif tengah berlangsung.
Hasil sementara pemilihan legislatif tampaknya dijadikan acuan untuk menentukan koalisi agar memperoleh “tiket” untuk mengajukan calon. Masalahnya diperkirakan tidak satu partai pun yang memperoleh 25 persen suara pemilih, sebagai syarat minimum mengajukan calon presiden. Sementara partai mana yang memperoleh 20 persen kursi parlemen, syarat lain untuk mengajukan kandidat presiden, juga belum diketahui.
Ada tiga partai dan kandidat presiden yang potensial membangun koalisi untuk meraih syarat mengajukan calon. Mereka adalah Joko Widodo dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang diperkirakan memperoleh 19 persen suara, Abu Rizal Makrie dan Partai Golkar yang diperkirakan memperoleh 14 persen suara, dan Prabowo Subianto dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).
Namun demikian, partai-partai lain yang perolehan suaranya di bawah sepuluh persen juga sibuk untuk membangun “kekuatan” keempat dalam ajang pemilihan presiden. Partai ini antara lain Partai Demokrat (PD), Partai kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sejaktera (PKS).
Semula kelompok partai berbasis Islam hendak membangun “poros tengah” untuk mengimbangi tiga partai lain, namun upaya menghidupkan kembali kekuatan pada pemilihan umum 1999 itu kandas di jalan. Sementara upaya serupa membangun “Koalisi Nusantara” oleh kelompok ini juga tampaknya masih terlalu cair untuk sebuah koalisi. Apalagi, para pimpinan partai itu tampaknya masih bimbang dengan pilihan-pilihan yang tersedia.
Koalisi untuk Apa?
Koalisi ini tampaknya mendesak untuk memperoleh syarat mengajukan calon presiden. Namun di belakang itu tampaknya juga merupakan upaya-upaya untuk meraih kekuasaan eksekutif. Memang gencar disebutkan bahwa koalisi tidak untuk konsesi kedudukan di kabinet, namun tampaknya itu hanya wacana saja.
Model koalisi yang dijalankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat pada dua periode kepresidenannya, ternyata tidak lebih dari bagi-bagi kekuasaan. Hasilnya koalisi tidak solid, pemerintahan menjadi tidak efektif dan korupsi masih terus, dan mungkin, makin merajalela. Koalisi tak lebih dari kepentingan kelompok elite partai saja.
Hasil pemilihan umum 2014 ini adalah respons rakyat atas kinerja partai yang menjadi pendorong terbentuknya pemerintahan yang lemah ini. Partai-partai itu pun buru-buru merespons dengan menyebutkan koalisi yang akan dibentuk bukan untuk mengulangi kesalahan yang sama.
Masalahnya, apakah partai-partai itu yang dipimpin oleh orang yang itu-itu juga masih bisa dipegang pernyataannya? Sementara kinerja partai politik dan parlemen setelah reformasi 1998 cenderung menurun, apatisme rakyat atas perubahan dari hasil pemilu denderung menguat.
Respons Rakyat
Sejak awal, masalah kepemimpinan bangsa di parlemen dan eksekutif yang terus konsisten hanya pada rakyat yang terus mengharapkan pemerintahan yang efektif menjalankan amanat kontitusi, sementara di elite partai dan kemudian mereka duduk di parlemen dan eksekutif bermain-main dengan memanipulasi amanat rakyat melalui pemilu.
Demokrasi yang hanya mencapai standar formalitas dan gagal dalam memenuhi tujuan substantif akan sama mengecewakannya, bahkan sama bahayanya dengan proses politik yang manipulatif pada pemerintahan yang otoritarian.
Situasi sekarang berada pada titik seperti itu, yang tak beda dengan kekecewaan besar pada akhir-akhir Orde Baru yang mendorong gerakan rakyat untuk reformasi. Koalisi yang, apapun alasan yang dikemukakan, tetapi sejatinya hanya mengarah pada kepentingan kekuasaan, akan membahayakan pemerintahan.
Dan yang paling bahaya dalam proses koalisi ini adalah pihak-pihak yang mulai khawatir bahwa lepasnya kekuasaan akan memudahkan pembongkaran korupsi yang melibatkan mereka. Koalisi hanya digunakan untuk berlindung dari jeratan ini, dan pilihannya cenderung pada pihak yang bakal menang, bukan pada kepentingan rakyat.
Namun satu hal yang tidak dilupakan adalah bahwa rakyat pada pemilihan presiden 2014, memiliki pandangan yang tidak sama dengan rakyat pada pemilihan umum 2009. Pengalaman, dan tahun-tahun pahit ini mengajari banyak hal. Sikap rakyat pada pemilihan parlemen akan beda dengan pemilihan presiden. Dan harapan masih bergantung pada kebijakan rakyat, semoga nantinya vox populi mencerminkan vox dei.
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...