Mengapa Pemilu Penuh Kecurangan?
SATUHARAPAN.COM – Pada masa penghitungan suara dan rekapitulasi suara pemilihan legislatif yang berlangsung pekan-pekan ini, suara yang santer adalah munculnya kecurangan yang terjadi. Hal ini terkait kecurangan dalam penghitungan suara, maupun manipulasi suara dalam proses rekapitulasi dari TPS (tempat pemungutan suara) ke tingkat kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan nasional.
Pada pekan ini, masalah manipulasi angka perolehan suara menjadi masalah yang serius. Hal ini bisa menjadikan kualitas pemilihan legislatif ini dipertanyakan. Banyak calon anggota legislatif yang mengeluhkan hilangnya suara dalam proses rekapitulasi, dan ada indikasi kuat terjadi jual-beli suara.
Siapa pelaku dari kecurangan yang ini? Dari berbagai berita yang muncul di media massa, pelaku kecurangan ini ada di antarab para caleg dan juga panitia pemilihan umum pada hamper setiap jenjang. Hal ini yang justru sangat memprihatinkan. Anggota dan pimpinan di penyelenggara bukan saja tidak netral, tetapi justru menjadi aktor dalam kecurangan.
Sementara itu, panitia di bidang pengawasan yang di bawah koordinasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tampaknya diam saja, dan tidak bisa diharapkan untuk menyelesaikannya secara baik. Sejak masa kampanye di mana terjadi banyak pelanggaran, Bawaslu terlihat lebih sebagai penonton dan mengeluh saja.
Masalah Utama
Yang patut diperhatikan dalam kecurangan pada pemilu kali ini adalah manipulasi suara bukan saja melibatkan persaiangan antar partai, tetapi juga melibatkan persaingan antara caleg dari satu partai yang sama di satu daerah pemilihan.
Masalah kecurangan ini tentu saja soal kredibilitas etika dan moral orang-orang yang terlibat. Namun juga menjadi makin masif karena sistem yang digunakan membuka peluang kecurangan itu. Masalah ini, seperti disoroti editorial satuharapan.com sebelumnya, telah menimbulkan masalah serius di mana pemilihan legislatif menjadi begitu mahal bagi setiap caleg, namun kampanye untuk menampilkan kapasitas caleg nyaris tidak efektif sama sekali.
Persaingan di antara caleg dari satu partai dan di daerah pemilihan yang sama juga didorong oleh digunakannya sitem pemilihan umum proporsional dengan daftar terbuka. Sistem ini memberi peluang pemilih mencoblos partai atau caleg, dan caleg dengan perolehan suara terbanyak di partai itu akan menjadi calon terpilih.
Implikasi dari sistem ini adalah peluang kecurangan yang merupakan kerja kolutif caleg dengan panitia pemilu. Bentuknya adalah “mencuri” suara dari satu caleg untuk dimasukkan ke caleg lain. Dan kecurangan bisa tidak mudah dilihat ketika “pencurian” suara terjadi di antara caleg satu partai satu daerah pemilihan, di mana total perolehan suara partai tetap utuh.
Masalah ini membuat caleg tidak mudah untuk menelusuri kecurangan dan menemuikan bukti untuk mengadukan, kecuali caleg itu memiliki saksi yang bekerja untuk dia di semua jenjang dalam rekapitulasi suara. Tanpa itu, caleg yang bersangkutan yang bisa “terperangah” melihat perolehan suaranya menyusut, atau tidak mengetahui “berpindahnya” suara ke caleg lain.
Merapuhkan Parpol
Situasi ini menimbulkan kompetisi yang sangat ketat bahkan konflik di internal partai. Sebab, nyaris tidak mungkin setiap caleg menempatkan saksi untuk setiap TPS dan setiap jenjang pelaksana pemilu.
Masifnya kecurangan ini menandai bahwa partai politik juga tidak mampu menjaga soliditas di internal partai. Hal ini bisa membahayakan kinerja partai, bahkan ketika caleg itu menjadi anggota parlemen.
Mekanisme kerja di parlemen mengharuskan anggota parlemen bergabung dalam fraksi yang merupakan kepanjangan tangan partai. Hal itu juga yang menjadi dasar adanya lembaga recall di parlemen ketika anggota menyimpang dari aturan partai. Namun sistem pemilihan umumnya justru mengarah kepada anggota parlemen seolah-olah wakil rakyat yang mandiri.
Sistem ini jelas akan membuat partai makin rapuh dan konflik internal akan semakin terbuka untuk terjadi dengan mudah. Dalam situasi ini, maka semakin sulit mengharapkan terwujudnya reformasi dalam tubuh parpol.
Oleh karena itu, masalah-masalah dalam pemilu ini harus disikapi dengan lebih terbuka dan mendasar. Indonesia membutuhkan perubahan pada sistem pemilihan umum yang mendorong reformasi di partai politik. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa di balik itu juga bergantung pada etika dan moral parpol, caleg dan penyelenggara pemilu. Sayangnya, kita masih berkutat pada masalah-masalah rendahnya kredibilitas pemimpin.
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...