Hari kartini dan Rumah yang Aman
Pengambil kebijakan dan keputusan perlu memanfaatkan momentum Hari Kartini untuk pencegahan KDRT berskala luas dan penanganannya yang berpihak kepada korban termasuk tersedianya rumah aman.
SATUHARAPAN.COM – Apakah rumah bagi Kartini merupakan rumah yang aman? Sebagai putri bangsawan, hidup Kartini berkecukupan. Ia memiliki koleksi bacaan bermutu, dan berkat ”lobi” Marfie Ovink-Soer, yang oleh Kartini dipanggil Moedertje (baca: ibu sayang) kepada ayahnya, ia berlangganan majalah jurnal perempuan De Hollansche Lelie, sebuah majalah yang khusus memperjuangkan hak-hak perempuan.
Dalam pingitan, Kartini memiliki kamar sendiri sebagai ruang belajar, membaca dan menjahit—fasilitas yang sulit dinikmati perempuan dari kalangan rakyat biasa yang kerap harus berbagi ruang dengan anggota-anggota keluarga yang lain sekaligus berbagi fungsi ruang sebagai kamar tidur, ruang makan atau ruang tamu. A room of one’s own dalam ungkapan Virginia Wolf yang melukiskan kecukupan materi bagi perempuan yang ingin menjadi penulis dan kebutuhan privasi.
Sependek bacaan saya, tak ada catatan tentang kekerasan fisik, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi yang dialami Kartini baik yang dilakukan oleh orang tuanya maupun suaminya. Namun, pingitan terhadap Kartini dan kedua adiknya, Roekmini dan Kartinah, merupakan bentuk kekerasan psikis, yakni mengurung anak atau anggota keluarga dalam kamar, menghambat mobilitas fisik, meskipun hal tersebut merupakan adat-istiadat lokal. Dalam tradisi pingitan, kekerasan psikis dan kekerasan budaya berkelindan. Juga merupakan bentuk pelanggaran hak anak, yakni hak atas pendidikan.
Tentu saja, pada masa Kartini, belum dikenal apa yang disebut hak-hak anak dan hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusia. Hak-hak anak antara lain hak atas pendidikan, hak kemerdekaan berpikir, hak berpendapat dan didengar, hak berpartisipasi, hak bertemu dengan anak lain dan bergabung dan berkelompok. Hak-hak perempuan terutama terkait pingitan antara lain hak atas pendidikan, hak untuk mengembangkan diri, hak atas kemerdekaan berpikir dan hati nurani dan hak untuk hidup sejahtera lahir batin. Juga belum dikenal apa yang kini disebut kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Pandemi COVID-19 dan KDRT
Dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2020 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), KDRT atau ranah personal merupakan bentuk kekerasan terbanyak dilaporkan ke lembaga pengada layanan: 11.105 kasus (75%) meliputi kekerasan terhadap istri, menempati peringkat pertama 6.555 kasus (59%), disusul kekerasan terhadap anak perempuan 2.341 kasus (21%) dengan pelaku terbanyak adalah suami, ayah kandung, ayah tiri/angkat dan paman (CATAHU 2020). Artinya, sebelum pandemi COVID-19 dan kebijakan pembatasan sosial berskala besar, rumah bukan merupakan ruang aman bagi perempuan dan anak perempuan.
Belakangan, laporan berbagai media juga mencatat bahwa KDRT merebak di seluruh dunia seiring pandemi COVID-19 dan pembatasan sosial di Eropa, Asia maupun Amerika Serikat. Tak kurang PBB mendesak pemerintah-pemerintah agar mencegah KDRT dan mengeluarkan kebijakan penanganannya. Fakta KDRT ini sebenarnya menegaskan kembali bahwa dalam kondisi normal maupun darurat bencana, rumah tangga bukan ruang aman bagi perempuan dan anak perempuan.
Padahal, dunia kini berada di era digital dengan jejaring global yang menciptakan masyarakat saling terhubung dan terbuka dengan aktivitas komunikasi dan informasi yang berputar cepat. Di era kecerdasan buatan (artificial intelligence) dengan robot manusiawi (humanoid robot) yang menggantikan sejumlah pekerjaan manusia termasuk caring works, kekerasan di ranah domestik tak bergerak dari pola dan pelakunya, bahkan juga jumlahnya. KDRT tetap tercatat sebagai bentuk kekerasan terbanyak dilaporkan ke lembaga-lembaga pengada layanan. Ini menggambarkan bahwa patriarki tetap melekat erat dalam tatanan sosial, budaya, agama dan ekonomi seiring pergerakan global dan karenanya kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan terulang dan terulang.
Ketika tak satu pun belahan dunia dapat menghindari pandemi COVID-19 dan manusia dipaksa membatasi interaksi sosial dengan jaga jarak dan di rumah saja, maka KDRT terjadi dengan pola dan pelaku yang sama. Rumah yang diharapkan menjadi benteng yang steril dari kekerasan dan virus berbahaya, justru menjadi tempat yang tak aman bagi perempuan, anak perempuan dan kelompok rentan seperti pembantu rumah tangga.
Membangun Rumah yang Aman
Pembatasan sosial berskala besar dan pembatasan fisik dalam masa pandemi COVID-19 menempatkan rumah sebagai pusat berbagai kegiatan: mulai dari tempat anggota-anggota keluarga berkumpul, mengerjakan pekerjaan kantor, belajar, kerja-kerja domestik dan ekonomi. Kebijakan pembatasan sosial ”di rumah saja” tentu mengandaikan kondisi ideal tentang rumah sebagai ruang yang bebas dari berbagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
Ungkapan ”di rumah saja” menunjukkan kepada rumah sebagai ruang utama penyelamatan manusia dari ancaman berbahaya. Ironinya, pelesetan populer Drs. (doktorandus) menjadi ”di rumah saja” justru menunjukkan penilaian merendahkan terhadap kerja-kerja di rumah. Kerja-kerja domestik bukanlah jenis pekerjaan: tak membutuhkan pengetahuan, ketrampilan khusus dan tak berbayar. Akibatnya, sebutan ”ibu rumah tangga” menunjuk kepada ”perempuan tidak bekerja” yang berada di rumah saja.
Kebijakan ”di rumah saja” sebenarnya menempatkan kembali rumah sebagai tiang dasar kehidupan dalam masyarakat. Setiap orang pada akhirnya akan pulang ke rumah, ke ruang keluarga (baca: home), setelah seharian bekerja di luar. Setiap orang butuh ruang privat untuk beristirahat, berkasih sayang dengan orang-orang tercinta dan menjalankan rutinitas pribadi keseharian.
Sebelum revolusi industri, pemisahan rumah sebagai ruang domestik dengan ruang publik tidak tajam. Fungsi rumah sebagai ruang keluarga berkelindan dengan ruang kerja, ruang ekonomi dan ruang sosialisasi dalam arti ruang publik untuk musyawarah. Rumah-rumah tradisional di Tanah Air bisa dibilang berfungsi rangkap, tak semata ruang keluarga inti. Di masa pandemi COVID-19, ruang rangkap itu kembali hadir di banyak rumah- keluarga di seluruh dunia.
Sayangnya, di masa pandemi COVID-19 ruang rangkap itu bukan ruang aman bagi perempuan dan anak perempuan. Ketidakpastian yang mencekam, keletihan fisik, stres dan krisis ekonomi telah mendorong terjadinya KDRT dalam rumah yang justru diharapkan menjadi ”ruang steril” dari ancaman khususnya COVID-19. Pembatasan sosial berskala besar sebagai kebijakan memutus rantai penularan COVID-19 perlu menempatkan rumah sebagai ruang rangkap yang aman bagi perempuan dan anak perempuan.
Apalagi ketika sebagian lembaga layanan pengaduan dan rumah aman mengalihkan kegiatannya ke ruang virtual; pengaduan tak lagi bersifat langsung melainkan secara daring (online). Pertanyaannya, ketika rumah tak lagi menjadi ruang aman, ke manakah perempuan dan anak perempuan korban KDRT mencari perlindungan?
KDRT bertentangan dengan cita-cita Kartini yang menginginkan perempuan menjadi pribadi yang mandiri dan terdidik, bebas dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi, bebas dari perlakuan merendahkan martabat manusia, berdaulat atas tubuh dan seksualitasnya, bebas dari eksploitasi, dan seterusnya. Dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon, Kartini menulis: ”Sekolah-sekolah saja tidak dapat memajukan masyarakat, tetapi keluarga di rumah juga harus turut bekerja. Lebih-lebih dari rumahlah kekuatan mendidik itu berasal.”
Hari Kartini 2020 berada dalam rangkaian hari-hari mencekam ”stay at home” yang panjang dan pembatasan sosial berskala besar dengan pademi COVID-19 memuncak pada Juni 2020. Pengambil kebijakan dan keputusan perlu memanfaatkan momentum Hari Kartini untuk pencegahan KDRT berskala luas dan penanganannya yang berpihak kepada korban termasuk tersedianya rumah aman.
Rainy MP Hutabarat (Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan 2020-2024)
Editor : Yoel M Indrasmoro
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...