Hari Pengungsi Dunia: Kontras Antara Jakarta dan Yordania
JAKARTA,SATUHARAPAN.COM – Hari Kamis (20/6) kemarin adalah hari pengungsi dunia. Ketua Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk Pengungsi, Antonio Guterres, datang ke Yordania untuk menyerukan kepedulian pada pengungsi di berbagai pelosok dunia, terutama warga Suriah yang mengalami penderitaan akut sebagai pengungsi akibat konflik bersenjata lebih dari dua tahun.
Pada hari yang sama di Indonesia, ratusan pengungsi domestik di Sampang, Madura dipindahkan ke Sidoarjo menjauh dari kampung halaman mereka, karena mereka menganut keyakinan Muslim Syiah. Pemindahan paksa justru dilakukan oleh pemerintah daerah dan aparat keamanan terhadap mereka yang sudah sembilan bulan tercabut dari kampungnya.
Di tempat lain, di Mataram, puluhan keluarga telah mengungsi selama tujuh tahun di negerinya sendiri. Mereka terusir dari rumah dan kampungnya karena keyakinannya sebagai Muslim Ahmadiyah. Bahkan mereka kehilangan hak azasinya dengan tidak mendapatkan akta kelahiran, kartu tanda penduduk dan legalitas hukum atas tatus perkawinan.
Belum lagi sejumlah penganut agama minoritas lain telah dipaksa meninggalkan rumah dan kampung mereka karena tekanan kelompok lain, dan pemerintah membiarkan hal itu terjadi. Di sisi lain, para korban lumpur Lapindo Sidorajo juga masih banyak yang harus tersingkir dan berjuang keras menentukan nasibnya sendiri setelah rumah mereka tenggelam.
“Saya ingin memberi hormat kepada Yordania, Lebanon, Turki dan semua negara di kawasan ini sebagai penolong yang baik yang telah menyelamatkan ratusan ribu nyawa,” kata Guterres di Yordania. Namun tidak ada suara simpati dari pejabat Indonesia bagi para pengungsi di negeri sendiri.
Saat ini, ada lebih dari 1,6 juta pengungsi Suriah yang terdaftar. Lebih dari satu juta dari mereka tiba tepat pada enam bulan terakhir, dan ribuan lainnya datang setiap hari, mencari tempat tinggal, makanan, dan membutuhkan orang lain yang akan mendengarkan dan membantu mereka menyembuhkan dari trauma konflik.
Di dalam Suriah, skala penderitaan manusia berada di luar pemahaman manusia. “Saya khawatir bahwa bangsa ini sedang menghancurkan dirinya dengan menyingkirkan rakyatnya. Saya kecewa mendengar dari anak-anak dengan wajah menampakkan trauma. Mimpi buruk menentukan hidup mereka setiap kali bangun dan menghantui tidur mereka. Sekolah telah menjadi kenangan,” kata Guterres.
Pidato ini juga pantas untuk para pengungsi Syiah dan Ahmadiyah di Indonesia. Sayangnya tak ada pejabat yang bersedia, bahkan untuk pidato yang simpati, sekalipun harapan mereka adalah tindakan yang nyata untuk melindungi hak-hak mereka hidup di negara berdasarkan Pancasila dan pemerintahan dijalankan dengan dasar hukum.
Penyakit Pneumonia Terus Menjadi Ancaman bagi Anak-anak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, mengatakan, pneumonia ser...